Asmaul Husna

Photobucket

Rabu, 07 April 2010

Esai : Memetik hikmah dari puisi-puisi transendental, karya Moh.Gufron Chalid

“Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” ( Teeuw ).

Seperti yang dikatakan Teeuw di atas, seperti itulah yang saya temukan pada sajak-sajak Moh. Gufron Chalid yang terkumpul pada 17 sajak pilihan, yang di inbokkan ke saya untuk saya pelajari.

Setelah menelusuri setiap detak nafas sajak-sajak tadi, di sana saya dapat merasakan bagaimana penyair dalam menjalani proses pencarian jalan kebenaran melalui medium sastera.

Sebagai salah satu alat atau media untuk meletupkan rasa dan pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat mempengaruhi pola piker dan atau pola piker baru yang berdampak positip pada pribadi penyair serta penghayat selanjutnya, puisi,sajak, merupakan perwujudan yang tepat dari sekumpulan kata atau kalimat yang merupakan bagian dari yang namanya bahasa (baca: bahasa hati,bahasa piker,bahasa rasa, dll).

Bahwa Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Bahkan Jhon F Kennedy mantan presiden Amerika yang fonumenal mengkaitkan puisi dengan kehidupan bernegara: “ bila politik bengkok, maka Puisi yang akan meluruskannya”. Dari statemen tersebut, betapa penting dan berpengaruhnya puisi yang baik, tidak hanya dikaitkan dari sudut agama atau keyakinan saja, tapi juga terkait kuat (bila mau menyelaminya) bagi tatanan Bangsa,Negara, dan perbaikan pola piker positip bagi masyarakat dan atau indifidu penghayat.

Latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll, sangat berpengaruh sekali akan hasil perwujudan puisi, baik dalam kapasitas tekstual puisi maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi,sajak bersangkutan.

Dan factor-faktor seperti itu juga yang mempengaruhi karya-karya Moh. Ghufron Cholid yang terkumpul pada 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN.” Dimana nuansa transendental (kemenonjolan hal-hal yang bersifat spiritual/kerohanian) sangat menonjol pada setiap karyanya. Tidak perlu heran, karena lingkungan agamis yang kuat dari keluarganya serta atmosfir kehidupan pesantren, secara tidak langsung telah membentuk pola pikernya dalam berkarya cipta.

Seperti yang tertuang pada enam buah puisi Moh.Ghufron Cholid “ Menuju Pelabuhan, Sholat, Pertemuan, Selepas Subuh, Perempuan malam,dan Pengakuan “ yang saya anggap paling kuat dari segi alur, bunyi, pemaknaan, sehingga sangat-sangat menyita perhatian saya selaku penghayat, bila dibandingkan dengan puisi lainnya yang tergabung dalam 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN”, yang menurut saya terkesan hanya mengalir biasa saja.

Tajuk puisi ““Menuju Pelabuhan” yang sekaligus dijadikan sebagai puisi pembuka pada 17 kumpulan puisi pilihan Moh.Ghufron Cholid, begitu kental dengan nuansa transendental, betapa aku lirik beserta segala ketidak berdayaannya dalam menghadapi tipu daya pesona dunia nan fana, dengan tiga hal sifat yang senantiasa melekat pada insan Tuhan ( suka berkeluh kesah, tak pernah merasa puas, dan penyakit iri ), di sini aku lirik berusaha melawannya dengan cara mendekatkan diri pada sang pencipta, serta menyadari dengan sepenuh rendah hati, betapa tiada yang patut dia sombongkan di hadapan Illaihi Rabbi, serta berharap mendapat Ijabah dengan cara sujud yang sebenar-benar sujud atas segala kebesaran-Nya.

Dan nuansa seperti itu akan pembaca dapatkan pada Sajak “Menuju Pelabuhan” yang menjadi tajuk dan pembuka pada 17 kumpulan sajak terpilih Moh. Ghufron Cholid, saya petikan bait awal sajak tersebut, di bawah ini :

“Menuju pelabuhan kasihMu
Aku terkepung
Antara riak rindu dan ombak nafsu
Terkadang badai dan topan menerjangku
Aku serupa kapas
Berdansa di samudera lepas
Hilang arah tanpa batas”

Begitu kuatnya unsur transendental yang tersirat pada bait awal sajak tersebut. Dan saya yakin ini semua juga tidak terlepas dari pengaruh budaya hidup Moh.Ghufron Cholid yang sedikit tidak banyak dipengaruhi oleh atmosfir pesantren.

Puisi “Menuju Pelabuhan” ini, langsung mengingatkan saya dari sisi kekerabatan makna pada karya “CERITA BUAT IMANA TAHIRA” buah tangan penyair surealis spiritual Acep Zamzam Noor, yang sajak-sajak liris spiritualnya kebanyakan sering mengajak alam bawah sadar pemghayat untuk masuk ke dunia sufistik dalam mengungkap makna-makna yang bersifat transendental, melalui symbol-symbol alam, benda, cuaca, dll sebagai wujud pencitraan.

Seperti halnya “Menuju Pelabuhan”, Penyair Sepiritual Acep Zamzam Noor yang merupakan asset khasanah sastera tanah air ini, dalam “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, tersirat adanya suatu kekerabatan makna, yakni sama-sama tunduk dan tawaduk atas kebesaran Illaihi, betapa kita insan hanya serupa debu dihadapan Tuhan. Kurang lebih itu inti makna yang sama-sama ingin disampaikan. Mari kita baca dua bait yang saya kutip dari sajak Acep Zamzam Noor “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, di bawah ini :

“Memandang langit
Aku ingat wajah kekuasaan
Merah padam
Sedang menginjak bumi
Seperti kudengar suaraku yang sunyi

Di jalan setapak
Yang disediakan bumi tulus ini
Kata-kataku tumbuh dari udara
Kata-kataku membangun menara tinggi
Namun akhirnya runtuh juga” ( di petik dari sajak Acep Zamzam Noor )

Kekerabatan makna “Menuju Pelabuhan” ini juga bisa kita jumpai pada sajak “Doa” buah karya dari penyair D. Zawawi Imron, di mana pada karya “Doa”, penyair melalui aku lirik, betapa takjub akan kebesaran dan kekuasan Tuhan, dan betapa insan setiap mengingat kebesaranNya, terlihat kerdil tiada daya dibandingkan dengan segala kebesaran-Nya.


“bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
membangkitkan gelombang lautan rindu
menggebu menyala
dan lagu-Mu yang gemuruh
menyangkarku dalam garden-Mu” ( Dipetik dari sajak “Doa” D. Zawawi Imron ).

Suasana transendental juga akan kita jumpai pada karya “SHALAT” yang ada pada 17 sajak pilihan Moh. Gufron Chalid. Sajak pendek yang hanya satu bait dan terpeta terdiri 3 baris, saya rasa cukup berhasil membawa penghayat untuk masuk ke dalam dunia renung akan pentingnya menjalankan syariat Tuhan dengan sebaik-baiknya iman.
Secara makna, sajak ini mengingatkan saya pada tembang “Tamba Ati” karya Sunan Bonang yang sering saya nyanyikan saat saya masih kecil dan mengaji di mushola di desa saya Malang.

Sekali lagi saya katakana, secara makna, sajak Sholat ini sangat dalam, hanya secara puitika bahasa, karya ini terasa mengalir begitu saja, dalam arti, cengkeraman kuat yang bisa menghisap imaji penghayat kurang terbentuk, hal ini bisa jadi di karenakan puitisasi bahasanya yang terkesan standart ( umum).

Saya tidak membandingkan karya “Sholat” dengan” Tamba Ati” karya Sunan Bonang, namun saya hanya ingin menggambarkan betapa dengan pilihan diksi yang kuat dan susunan yang tepat, walau pendek, tembang “Tamba Ati” tetap mengemakan bunyi yang begitu mengesankan.


Saya petikan sajak “ Shalat “ dan “ Tamba Ati “, yang secara kekerabatan inti makna tidak jauh berbeda; yakni mengajak insan untuk menjalankan Syariat Tuhan dengan setulus-tulusnya ikhlas.

“Tuhan
Kau dan aku
Tak ada tabir rahasia”

Betapa di sini penyair dalam sajak “Sholat” ingin menyampaikan, bilamana kita menjalankan segala perintah-Nya ( Shalat ), ibarat pengantin dan atau bila dalam suatu rumah tangga, suami istri, tiada lagi penyekat untuk senantiasa berdekatan ( dalam koridor tanda kutip ). Sebuah pesan tersirat yang mengingatkan setiap insane ( penghayat ) untuk senantiasa tawaduk dan iklas dalam mendapatkan ijabah dari Tuhan, seperti yang ada pada larik lengkap tembang “ tamba Ati” karya Sunan Bonang dalam syiar islaminya.

“Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi

Kurang lebih maknanya seperti ini :

Obat hati itu ada lima macamnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan mengamalkan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga menjalin silahturahmi dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat menjalankan ibadah berpuasa, agar bisa memetik hikmah dari penderitaan kaum miskin.
Kelima sering-sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan. “

Jadi secara implisit seperti itulah pesan yang terkandung pada puisi pendek yang hanya 3 baris di luar judul, mempunyai kandungan makna seperti pemaknaan yang ada pada tembang “tamba Ati”, khususnya dalam pencapaian tingkat ijabah Tuhan “Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan”.

Terlepas dari kurang kuatnya daya hisap imaji karya, sajak “Sholat” ini patut untuk dibaca sebagai bahan renung agar kita senantiasa ingat dan bisa lebih dekat dengan Tuhan. Amin.

Dan pembaca akan semakin diajak bertilawah hati dalam menangkap pesan-pesan transendental yang ada pada 17 sajak pilihan karya Moh.Ghufron Cholid, yang dengan bahasa lugas dan membumi. Walau dalam kesederhanaan puitisasi bahasa, dan minimnya penggunaan majas metaphora, tapi ketotalan penyair dalam menjiwai setiap gores baris sajaknya, menjadikan sajak-sajak tersebut serasa punya roh untuk bercerita, serta memudahkan setiap pembaca dalam menerjemahkan pesan tekstual sajak dengan mudah. Seperti pada sajak “ SELEPAS SUBUH” yang merupakan bentuk penghormatan dan kekaguman penyair pada gurunya yang telah berpulang ke Rahmattullah, saya kutip penuh , seperti di bawah ini:

SELEPAS SUBUH
Teruntuk guru tercinta Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari

Guru
Selepas subuh
Rumput-rumput bertahlilan
Beburung membaca yasin
Di sekitar nisanmu
Lalu
Kusaksikan pohon-pohon doa semakin lebat daunnya
Lantas
Meneduhi nisanmu
Kemudian
Aku mengerti
Suatu hari nanti
Wajahku berganti nisan
Namun
Aku belum tahu
Apakah nisanku akan seteduh nisanmu
Namun
Aku belum tahu
Jika wajahku telah berganti nisan
Apakah rumput-rumput akan bertahlilan
Dan beburung akan membaca yasin
Semisal yang kusaksikan selepas subuh ini (Al-Amien, 2009)

( andai saja mau sedikit menyentuh tipograpi puitikanya/pemetaan baitnya, saya yakin sajak ini akan kian bernas dan semakin enak dibaca)

Akhir kata, terlepas dari segala plus minus karya sajak ini,tidaklah berlebihan bila saya katakan 17 karya pilihan Moh.Gufron Cholid ini layak untuk dibaca, sebagai salah satu jalan mencari kebenaran melalui pemikiran-pemikirannya yang dia tuangkan dalam sajak bernuansa spiritual.

Memang pembaca tidak akan menemukan permainan-permainan symbol bahasa/majas sekuat dan sekental karya-karya Acep Zamzam Noor dan D. Zawawi Imron pada kumpulan sajak-sajak “ Menuju Pelabuhan “ ini, namun begitu, dalam kelugasan puitisasi bahasa sajaknya, pembaca akan diajak bertilawah pada keteduhan iman yang dalam.

Biodata Penyair :

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 M dari pasangan KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh. Ia adalah salah seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), selain itu adalah seorang tenaga edukatif di MTs TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465 dan ditengah kesibukannya menjadi ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Pondok Pesantren Al-Amien, ia menjadikan menulis puisi sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang.

Karya-karyanya bisa dibaca di Antologi.Net, Puitika.Net, penulisindonesia.com, www.kopisastra.co.cc dan diberbagai situs online lainnya.

Mengasah Alief (2007),Antologi puisinya yang mendapat kata sambutan positip dari D. Zawawi Imron, KH. Moh. Idris Jauhari, dan Penyair Jerman. Selain itu Antologi Puisi Yaasin (2007), Antologi Puisi Toples (2009), merupakan karya-karyanya yang telah berhasil dia bukukan.

Salam lifespirit!
___________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit, 20 Maret 2010

PEREMPUAN MALAM DALAM PANDANGAN DUA ANAK BANGSA BERDEDA BUDAYA

Oleh Moh. ghufron cholid

Berikut ini perkenankan saya mengulas, dua puisi yang memiliki judul yang sama yang ditulis oleh dua anak manusia berbeda negara dan budaya.
PEREMPUAN MALAM
Oleh moh. ghufron cholid


Malam berbaju petang
Cepat pulang
Biar kau tak hilang

Al-Amien, 2008
• SAJAK > 2008 > PEREMPUAN MALAM disumbangkan pada Sabtu, 20 Mac 2010 9:52:01 AM • Kali terakhir diubah pada Sabtu, 20 Mac 2010 9:52:01 AM oleh moh. ghufron cholid
Dalam puisi ini saya (Moh. Ghufron Cholid) lebih menekankan tentang keutuhan dan kesucian seorang perempuan. Kenapa puisi ini lahir, puisi ini lahir dilatar belakangi, lantaran kekhawatiran saya terhadap kaum perempuan. Saya takut, kalau perempuan berjalan di malam hari banyak yang mengintai. Banyak yang ingin menjadikannya bunga. Saya lebih ingin perempuan tinggal di rumah saja. Dengan tanda petik perempuan yang saya maksud adalah perempuan yang kurang bisa menjaga kesuciannya. Saya sadar tidak semua perempuan itu berhati kelam, pun saya pun tidak menyangkal tidak semua perempuan berhati bening. Bukan saya tidak percaya pada perempuan yang berjalan di malam hari. Tapi lantaran cinta saya pada perempuan, yang membuat saya memberanikan diri menulis puisi ini. Lantaran saya ingin, perempuan tidak selamanya bersahabat dengan dunia malam dalam catatan dunia malam yang menawarkan hati kelam. Bukan Malam yang selalu menawarkan ketakjuban, akan anugrah Tuhan. Malam yang selalu memberikan ketenangan dan kedamaian dalam dalam hati perempuan yang berhati bening.
Kini marilah kita merenung sejenak sembari membaca puisi karya Aziz Zabidi di bawah ini sehingga ulasan puisi sederhana ini, akan bisa kita saksikan warna dan rasanya. Bagaimana dua anak bangsa berbicara perempuan malam lewat puisi.

Perempuan Malam, bacalah aku seperti kau baca percik peluh di tubuhku
Oleh aziz zabidi

Kerana aku selalu lelah, dan kau sering melihatku dalam bingkai yang pecah, maka masuklah. Perempuan malam. Masuklah ke tubuhku, ke jantung ke dalam darah. Masuklah seperti kau masuki negeri mimpi. Tak perlu salam mesra tak perlu canda ria. Masuklah dengan pisau atau tali, dengan sutera atau kaca. Tak kupeduli. Masuklah.


Apakah yang kau lihat dalam tubuhku, perempuan malam? Dengkur pada hati atau rindu negeri abadi? ataukah kau lihat juga kapal-kapal yang tak kenal laut. atau ribut atau pasir atau cuma angin dan debu.


Benar, tubuhku selalu lelah. Seperti orang tua dalam sejarah, atau seperti negeriku yang bangka sebelum masa. Tapi apa lagi yang kau lihat?
Kesunyian musim semi atau bingit musim pesta? Ataukah kau ketemu juga sang kuda tanpa pelana atau gagak-gagak mematuk arca.


Sempatkah kau menjejakku. ataukah tak kau ketemu pintu?


Sebelum malam usai dan kita kembali sombong. Dengan jemarimu.
Perempuan malam.
masuklah, masuklah ke jantungku dan bacalah aku seperti engkau membaca
percik peluh ditubuhku.


Disember 09'

Pada bait pertama Aziz Zabidi, lebih menekankan agar perempuan memasuki dunia penyair. Membaca segala rasa yang ada di dalamnya, tanpa harus memperdulikan asal-usul. Tanpa harus memperdulikan tata cara memasuki dunia sang penyair. Bagi penyair, perempuan memasuki dunianya dengan cara yang santun, atau dengan cara yang amoral sama saja.
Pada bait ketiga, secara tegas penyair mempertanyakan tentang segala hal, yang disaksikan perempuan dalam diri penyair. Tentang segala, rindu, riuh, terang dan kelam kehidupan baik yang dialami penyair maupun yang dialami negrinya.
Pada bait ketiga penyair mengakui segala kejenuhan yang dialami. Segala peristiwa yang tidak ingin dialami namun terjadi. Sungguh lukisan hidup yang sangat memilukan.
Pada bait keempat, secara tegas penyair menanyakan perihal keanehan yang dialami perempuan setelah memasuki dunia yang dengan sengaja dibuat oleh penyair. Tentu dunia buatan manusia dengan dunia buatan Tuhan sangatlah berbeda.
Pada bait kelima, penyair menyatakan sikapnya, agar penyair dan perempuan tidak terjebak dalamke sombongan, penyair pun menawarkan pada perempuan agar sama-sama membaca membaca percik peluh. Betapa hidup senang itu akan mudah didapat dengan perjuangan.

Demikianlah ulasan ini saya buat. Semoga ulasan sederhana yang ditulis oleh anak madura yang baru belajar mengeja kata ini bermanfaat untuk khazanah sastra pada umumnya dan bermanfaat bagi diri saya pada khususnya.

Al-Amien, 20 Maret 2010
Biodata Penulis
Moh. Ghufron Cholid, Pembina Sanggar Sastra Al-Amien

DARI REDAKSI

Assamu'alaikum sahabat annadwah, kali ini kami membuka rubrik mengulas puisi atau rubrik esai untuk memperkaya khazanah sastra, sobat annadwah boleh ikut berpartisipasi di dalamnya dengan menyumbangkan karya-karya tulis sobat. Sekian dari kami semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal yang selalu menawan. Amien ya Rabbal 'alamien.
Akhirnya kepada pembaca, kami ucapkan selamat membaca, menikmati dan mengomentari.

Al-Amien, 08 April 2010

Senin, 22 Februari 2010

PUISI ; Detak Bahasa di antara Pencipta Puisi dan Apresiator Puisi

Oleh Imron Tohari

Definisi Puisi

Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi seni, baik secara langsung maupun tidak langsung,begitu sangat dinamis.Dengan “bahasa” kita bisa mencari kedekatan secara emosional kepribadian masing-masing individu, yang dapat dikatakan mempunyai karakteristik dalam berbahasa yang cukup beragam.Dengan bahasa, setiap individu bisa saling berinteraksi dalam menangkap debar-debar emosi/rasa yang tak berujud yang ingin disampaikan padanya oleh individu lainnya. Dengan bahasa dan atau symbol-symbol bahasa, kita bisa menyampaikan pemikiran/opini dengan harapan tercipta imaji-imaji baru yang bisa mempengaruhi pola piker penerima pesan bahasa tersebut.

Untuk itu, bila kita berbicara puisi, maka tidak bisa terlepas dengan yang kita sebut bahasa, dan atau instrument bahasa (symbol tanda baca dan hal yang terkait dengan fungsi bahasa). Yakni bahasa sebagai sarana menangkap wujud puisi.

Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poesis, yang berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan.

Berkenaan tentang beragamnya pendapat mengenai apa definisi dari puisi, Shahnon Ahmad (Shanon bin Ahmad, Haji, Datuk) sastrawan Negara serumpun yang LAHIR : 13 Januari 1933 di Banggul Derdap, Sik, Kedah Darul Aman, mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris berikut (dikutip dari buku Pengkajian Puisi oleh DR. Rahmat Djoko Pradopo) sebagai:

- Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.

- Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

- Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

- Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).

- Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.

Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

"Puisi seolah bayang diri: ada tapi sukar dan bahkan tak terpegang maknanya. tiada tapi ada. ada tapi tiada. puncak puisi, maka, adalah tuhan itu sendiri. turunannya adalah roh kita. turunannya dikit lagi adalah bahasa, pada ketinggiannya: pengasingan benda benda, seolah roh yang tak ingin terlihat, walau dalam tubuh." Tulis Hudan Hidayat, salah satu dari sekian sastrawan terkemuka tanah air yang begitu itens membimbing talent-talent berbakat yang banyak bertebaran di dunia sastra maya dewasa ini.

Terlepas dari pendapat para pakar tersebut, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi ( baca: perenungan! ).

Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?

Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara ( berdasarkan kamus bahasa Indonesia ),samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.

Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta ( pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Pada akhirnya puisi tetap merupakan suatu misteri yang menyelingkupi suatu bahasa rasa yang ingin diletupkan sang penyairnya dengan mengunakan simbol-simbol agar makna tidak secara langsung keluar dari tubuh bahasa puisi itu sendiri, puisi yang menjelmakan dirinya pada bahasa yang sunyi, puisi yang mensamsarakan dirinya pada kesakitan-kesakitan bahasa dalam rangka menemukan pemaknaannya sendiri.


”dari roh masa lampau
kutetak waktuwaktu
kudapati
; kematian serupa awal kehidupan”

Biodata Penulis Imron Tohari _ lifespirit seorang penikmat sastra

Sabtu, 20 Februari 2010

UTUH

(cerpen)Susy Ayu

Aku bertemu lagi dengannya sekarang maka bersegeralah aroma kematangan singgah seperti waktu waktu yang berlalu. Ia masih saja ramping, dengan blus putih berkerah rendah dan jeans biru membalut kakinya yang jenjang. Begitu banyak kutemui gadis-gadis namun mereka belum lagi menjadi mawar, hanya duri. Tetapi tidak perempuan ini. Kupikir hanya aku yang mencium hatinya yang wangi, sementara orang orang hanya menggunakan hidungnya untuk bernafas, membaui semerbak parfum yang hanya bertahan hitungan jam tergoda beberapa saat kemudian bersusah payah mencari wangi itu ke dalam jiwa gadisnya. Itu juga kedunguanku di masa lalu dan berubah jadi perangkap hingga kini.

Aku menemukannya pertama kali duduk tepat di depan sebuah panggung pentas sastra, senyumnya mengembang seirama dengan tepukan tangan mengakhiri satu pertunjukan. Awalnya aku merasa terjebak di tempat ini, seorang sahabat berhasil menggiringku ke sini karena hanya ini kesempatan untuk berjumpa setelah bertahun tahun berada di kota yang berbeda.

Ah, dia mengeluarkan rokok putih , dengan luwesnya batang itu terselip di antara belahan bibirnya. Aku sangat membenci wanita perokok, tapi tidak padanya. Dia selalu bisa membuatku begitu bodoh dgn karakter yang tidak pernah kusangka mampu kumiliki. Asap mulai beterbangan, bercampur dengan suaranya yang mengambang. Apalah artinya asap, seberapa lamapun itu melayang di udara dan bercampur zat yang lain nya, ia tetap bernama asap. Aku tidak peduli berapa banyak racun yang mesti kuhirup, bahkan jika langsung dari dalam mulutnya.

“Aku cinta kamu,” demikian pernah kuberbisik menghindari ketololanku terdengar di seluruh ruang sebuah cafĂ©. Keberanian yang muncul dengan sedikit kurang ajar pada dua pertemuan selanjutnya. Belahan bibirnya bergetar, ia mematikan rokoknya sambil tersenyum, seakan bersiap dengan dialog dan adegan panjang berikutnya.

“Love takes time.” Jawabannya pelan, lebih samar dari suaraku namun cukup untuk mengguncang dan membangkitkan gairah yang matang sekaligus illegal.

Melihatnya, aku seperti disodorkan kartu pos dari sebuah negri yang tidak pernah ada di peta manapun, bergambar telaga biru dengan seekor angsa putih cantik berenang sendirian. Di atasnya langit biru dan gumpalan kapas yang tersepuh dengan lembut. Sementara di tepinya bertebaran bunga-bunga kecil berwarna merah dengan daun hijau keemasan oleh sinar matahari. Pemandangan sederhana namun meneduhkan.

Perempuan itu menciptakan karakter baru untukku, ah tidak, tepatnya dia membangkitkan sisi terdalam dari jiwaku yang belum pernah kutemukan . akhirnya kutemukan diriku , laki –laki usia kepala empat ternyata setengah gila mencintainya. Hanya dia perempuan yang mampu membuatku betah berjam-jam dalam percakapan di rentang jarak ratusan kilometer darinya. Saat itu ia menjelma seorang sutradara handal yang lihai menuntunku meninggalkan meja kerja, berbaring di sofa, tersipu, bergetar bahkan menangis. Padahal…heii….waktu adalah uang untuk orang yang sangat rasional macam aku. Dan itu kulakukan lebih dari tiga kali dalam sehari. Betul-betul gila!

Seperti halnya sebuah ciuman di dalam kamar hotel, setelah aku berhasil membujuknya dengan kelembutan yang susah payah kusembunyikan gairah di dalamnya. Kusebut ini sebuah rasa cinta yang tidak penyok atau cuil, namun sebagai laki-laki aku seperti membawa sekeranjang trik pada sebuah pesta.

Tidak. Aku tidak ingin melepaskan ciuman itu. Seberapa banyakpun jam harus berdentang dari satu angka ke angka berikutnya. Belahan bibirnya menyimpan rasa basah yang teramat manis, membuatku melupakan beban mengerikan dari rengekan istri atas segala yang diinginkan, juga sarapan pagi yang cuma menjadi kisah absurd di kepala sebab istri yang selalu bangun kesiangan. Perempuan ini memberiku segalanya, terutama penghargaan sebagai laki-laki dengan hati yang berkabut, bukan sebagai mesin pencetak uang bagi keluarganya.

Kupikir siapapun takkan sanggup melewati kebersamaan begitu panjang tanpa keinginan menyentuhnya. Kecupan itu berubah menjadi sebuah damba yang meledak akibat dipendam terlalu lama. Aku melayang seperti tak ada gravitasi yang melewati tubuhku. Mungkin aku yang memulai atau dia yang mempersilakan, namun mengalirlah segala rasa dan bertukar muara. Lekuk tubuhnya ibarat wikipedia tentang hasrat sekaligus berisi kata-kata saru yang terhardik keluar dari mulut.

Dia terseret seret mengikuti arusku, sebagian berusaha membendung selebihnya makin menderaskanku. Kalimat penolakan halus hingga tubuhnya yang memberontak tidak berhasil melepaskan dekapanku. Aku dan dia berjatuhan di lantai, tidak juga menghentikan mataku yang gelap . Selembar lagi tubuhnya akan polos dan kegilaan yang entah datang dari mana terus saja mencambuk.

Dia menyerah, tetapi tidak sinar matanya. Tubuhnya terbuka tanpa perlawanan , kelopaknya tersibak , setengah megap-megap dia menyusun kata-kata.
“Silakan kalau kau mau. Setelah ini jangan pernah berharap untuk ketemu aku lagi. Aku akan berdoa, kamulah laki-laki terakhir yang paling kubenci.”

Ini tamparan. Mungkin aku adalah laki-laki terkutuk yang pernah Tuhan ciptakan, tetapi tidak untuk perempuan ini. Kusambar tubuhnya dan kuletakkan di atas panguanku. Kali ini kuyakin bahwa dadanya yang indah diciptakan untuk tempatku menangis. Dia menerima air mataku, mengusap dengan lehernya.

“Tidak dengan cara ini, karena aku mulai mencintaimu.” suaranya parau, kurasa matanya basah. Lalu setitik air menyelinap di sela rambutku.

Aku percaya keinginannya meletakkanku di tempat yang lebih baik dalam hatinya. Kisah yang tak berhasil dengan bahagia membuatku seperti anak kecil yang memegang kuat kuat ujung baju ibunya di tengah keramaian. Aku tidak ingin dia pergi dan kisahku akan gagal sebelum dimulai.

Tubuh yang kelelahan itu kubaringkan di atas ranjang. Dia tertidur dengan menyimpan kelopak mata yang basah. Aku duduk sambil menatapnya dengan hasrat yang sekarat, bahkan pangeran manapun takkan sanggup memberi sebuah ciuman jika membuat putri salju yang letih ini terbangun.

Dia mengajariku banyak hal, melebihi dari yang selama ini kupahami tentang kisah cinta yang selalu berujung percumbuan. Aku merasa lebih memanusia dan makin dalam melihat disekitar cinta itu sendiri. Maka kutunggui dia, hingga beratus ratus hari kusanggup menunggu untuk menemuinya lagi. Seperti saat ini.

Dia terlihat dari tempat yang tidak terlalu jauh. Sebuah pertemuan tak terduga masih menyediakan pintu untuk berpaling. Namun tidak baginya. Senyum mengembang dari seberang meja, bagiku adalah isyarat untuk bersedia didekati. Demi Tuhan, aku ingin memberondongnya dengan rentetan pertanyaan yang selama ini tak pernah terjawab. Kulihat wajahnya sumringah oleh kejutan yang seharusnya membuatnya merasa tidak nyaman, bukankah selama ini dia yang mengakhiri semuanya? Melenggang begitu saja seakan tidak pernah terjadi apa apa sementara gempa telah meruntuhkan satu demi satu dinding di dalam sini. Kutekan dadaku yang sakit dengan satu gerakan yang tak kentara.

“ Aku hanya ingin mendengarkan alasanmu,” aku memulai kata-kata yang porak poranda. Bukan ini rencanaku membuka percakapan.

“ Aku tahu sungguh tidak layak membicarakan hal itu di sini” kusambung lagi, setidaknya untuk menenangkan diriku sendiri. Rasanya begitu konyol, toh segala kesempatan tak pernah cukup layak untuk membuatnya memberi penjelasan?

“ Bagaimana kabar keluargamu? “ Dia menjawabku dengan pertanyaan. Sungguh sebuah pertanyaan yang selalu kupinta dalam doa agar tidak terucap dari bibir yang sempat kumiliki berjam-jam itu. Dimana aku hanya ingin ada aku dan dia . Tambahan satu orang lagi hanya bikin sesak , apalagi ikut serta pula orang-orang yang dengan alasan merasa mendapat anugerah untuk bertahan di dekatku , lalu menggerogoti semua syarafku dan mengikatnya dengan kekejian yang dilegalkan oleh status mertua, ipar dan menantu.

Aku memilih tak menjawab, seratus makna melengos kutegaskan padanya. Dia cuma tersenyum, oh betapa pintar putri kecilku menikam ulu hati. Pelajaran apa lagi kali ini yang akan kau beri?

“Tolong beri satu penjelasan saja, kurasa aku sudah cukup pintar untuk membacanya.” Kuringankan lagi seandainya apa yang kuinginkan telah menjadi beban.

“Karena aku mencintaimu. Tidak ada yang terbagi, utuh. ” Senyumnya pudar, tapi tidak cukup kuat untuk memberiku pengertian.

“Tidak. Kau cuma membuat lubang besar di sini,” kuraih tangannya menyentuh dadaku. Terasakah sekarang bagaimana bekas yang kau tinggalkan?

“Buatku, cinta hanya ada dua, memiliki dan melepaskan. Karena cinta aku bisa mencurimu dari keluargamu, dari istrimu, dan menciptkan dilema untuk kedua anakmu. Maka aku memilih yang terakhir.” Suaranya mengambang.

“Tapi...…” Tapi apa? Aku sendiri kehilangan kata-kata. Dia masih menungguku melanjutkan ucapan yang terputus secara memalukan ini.

“Aku utuh, tak ada yang kubagi. Andai bisa separuh saja kuberikan hatiku, kita akan tetap bersama menjalani tanpa mengubah apapun. “ Dia meneruskan usahanya membuatku mengerti lalu berharap akan baik-baik saja. Maka selanjutnya dalam hati kuberharap dia terus mendoakanku untuk itu. Betapa tragis sebuah kehangatan yang terpisah oleh niat baik. Seberapa baik? Aku tidak akan pernah baik-baik saja.

Aku pernah menemukan kesedihan, berjuang melewatinya, baik baik saja, kemudian sekarang kembali untuk menempuhnya lagi. Seperti sebuah jam pasir, membolak balik dan aku di dalamnya sebagai debu.

“Giliranku membacakan puisi sekarang, puisi ini untukmu, ada atau tidak ada engkau..selalu untukmu.”

Dia bangkit, kulihat tubuhnya terguncang dengan kuat menaiki panggung. Tulangku remuk, seperti remahan biskuit jatuh di bawah meja dan anak-anak kecil yang kelaparan berebut memungutnya. Remahan hatiku ternyata juga terbawa. Perempuanku benar-benar telah pergi dengan barisan kata-kata yang tidak berhasil kupahami.

15 Februari 2010

Biodata Penulis
Ia adalah seorang ibu dari dua orang anak yaitu Adinda Rana Fauziah, 10 tahunMoh. Rifaditya Fadilla, 9 di samping mengerjakan tugas rumah tangga, ia juga meluangkan waktunya untuk menulis puisi dan cerpen.

Senin, 01 Februari 2010

CATATAN PERJALANAN DI AKHIR JANUARI

kepada : E.D


menaruh rasa demi rasa
dalam kata

mencicil ingatan demi ingatan
dalam tubuh puisi

jadilah kamu dalam rumah puisiku

Biodata Penulis
Senja Aditya Fajar, kelahiran tanjung priouk Jakarta utara, 9 Maret, kini tinggal di Jatijajar, Cimanggis Depok. Saat ini, aktif di RTJ (Rumah Tanpa Jendela) serta di KOPS (Komunitas Planet Senen) dan Forum Ungu Yogyakarta.
Pembimbing dan Sutradara Teater dan Sastra serta musik kreatif di Lapas anak pria Tanggerang dan bersama teman-teman TERANPAS (Teater anak lapas Tanggerang) beberapa kali mengadakan pertunjukkan teater dan puisi serta musik kreatif baik di luar dan di dalam lapas sendiri.

PURNAMA DI LANGIT CERAH

Cerpen by : Ade Anita

Bulan berwajah bundar lagi malam ini. Langit cerah tanpa bintang, sehingga kehadiran singgasana bulan di angkasa tampak bersinar tanpa ada saingan. Siapapun bisa menatap wajah purnama sang bulan, persis seperti yang dilakukan oleh seorang gadis dari dalam jendela kamarnya yang berada di lantai atas rumahnya. Arini namanya.

Arini menatap sang bulan sambil duduk di atas bingkai jendela kamarnya. Bulan purnama datang lagi. Itu artinya tiga bulan lagi menjelang pernikahannya. Ada sebuah perasaan yang sulit dilukiskan di hatinya menjelang saat itu tiba. Perasaan yang mengganggu pikirannya hari-hari belakangan ini, bahkan membuatnya kehilangan konsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Hmm…, rasa takut itu kembali muncul. Akankah dia bahagia kelak dengan kehidupannya yang baru setelah menikah kelak ? Akankah sang Arjuna akan tetap menyayangi dia meski perubahan waktu akan membawa hal-hal yang tidak terduga kelak ? Bagaimana jika dia ternyata tidak bisa memberikan keturunan ? Bagaimana jika dia tidak cocok dengan keluarga suaminya ? Bagaimana jika sebaliknya yang terjadi ? Bagaimana jika suaminya mengharuskan dia untuk berhenti dari pekerjaan mapannya kini untuk berdiam di rumah ? Bagaimana jika orang tuanya yang telah menyekolahkannya merasa sayang melihat pendidikan yang telah dienyamnya bertahun-tahun menjadi sia-sia tak terpakai ? Bagaimana jika dia bosan dan jenuh dengan pekerjaan rutin rumah tangga ? Bagaimana jika datang gadis yang lebih menarik dalam perkawinannya dan gadis itu membuat suaminya beralih cinta ? Bagaimana … wah… ternyata ada beribu bagaimana dan pertanyaan lain yang membuat kegalauan di hatinya kian tidak menentu. Arini menundukkan kepalanya dan membuang napasnya agar rasa galau di hatinya ikut lenyap. Seharusnya sebuah pernikahan itu adalah peristiwa membahagiakan, tapi kenapa sekarang yang muncul adalah berjuta keraguan atas perolehan rasa bahagia itu. Ditatapnya kembali wajah rembulan. Rasa galau itu belum hilang, meski dia sangat ingin melenyapkan rasa yang sangat mengganggu itu.

---00000---


Sudah lebih dari satu jam Aditia mengamati pohon rambutan dengan teropong mininya. Arini mendekati adik semata wayangnya itu hati-hati.

“Lihat apa sih dik, dari tadi kok asyik banget.“ Perlahan dirangkulnya pundak Aditia dari belakang. Aditia menurunkan teropongnya dan menoleh menatap kakaknya.

“Lihat lebah mbak. Tuh…, lihat deh mbak. Mereka lagi boyongan mau pindah sarang.” Teropong itu kini disodorkan padanya. Arini meletakkan teropong itu di depan matanya.

“Yang mana dik ?” Aditia cepat memindahkan teropong itu kembali ke matanya sendiri, setelah mematok tempat, Aditia memberi isyarat pada Arini untuk mendekat. Di kedua lingkaran jendela teropong itu kini tampak sebuah barisan lebah-lebah yang terbang beriringan mondar-mandir keluar masuk sarang segi enam mereka yang masih tampak kokoh. Makhluk kecil itu tampak terbang mengepakkan sayapnya sementara tubuh bagian ekornya tampak condong ke bawah. Tentu lebah itu membawa serta madu yang dihasilkan tubuhnya sehingga terlihat keberatan begitu. Kepakan sayapnya tampak bergerak sangat cepat sehingga menimbulkan suara berdengung yang ramai. Asyik juga mengamati kesibukan para lebah ini. Pantas Aditia dari tadi begitu asyik di depan jendela diam tak bergeming mengamati. Arini meletakkan siku kedua tangannya di bingkai jendela agar posisi mengintipnya nyaman.

“Hei… nggak Dik. Mereka nggak semuanya pindah. Ada juga yang tinggal.” “Masa sih mbak ? Darimana mbak tahu ?” Aditia memberondong Arini dengan pertanyaan sambil menarik ujung kemeja Arini.

“Itu.. lihat deh. “ Arini memberikan teropongnya pada Aditia sehingga kini kegiatan mengintip lewat teropong itu sudah berpindah tangan.

“Ada lebah yang keluar saja, dan tidak masuk lagi, mereka terus masuk dalam kelompok lebah yang terbang menjauhi sarang menuju pohon lain, tapi ada juga lebah yang keluar dari sarang, terbang berputar memutari pohon untuk kemudian masuk lagi. Itu artinya mereka tidak ikut pindah, tapi mereka sedang bertugas untuk menjaga sarang dan mengawasi agar lebah yang pindah tidak merusak sarang yang mereka tinggalkan. Prajurit lebah namanya.” Aditia menjauhkan teropong dari depan matanya mendengar keterangan Arini dan menatap Arini dengan wajah keheranan.

“Prajurit lebah? Itu cerita khayalan mbak Arin atau kenyataan nih? Memangnya kerajaan apa, ada prajuritnya segala?” Arini bengong sejenak, tapi langsung nyengir kuda setelah melihat alis mata Aditia yang bertaut kebingungan. Diacaknya rambut Aditia dengan sebelah tangannya.

“Yeeee…, beneran dong. Masa khayalan. Hehehe….”

“Nih…, gini Dik. Dalam kehidupan lebah, hanya ada satu komando, yaitu sang ratu lebah. Ratu lebah itulah yang bertelur. Lebah lain yang ada di masyarakatnya, ada yang bertugas untuk mencari madu,. Ada yang bertugas untuk menjaga sarang dari ancaman musuh, ada juga yang bertugas untuk menjaga telur-telur dan menyimpan madu yang dikumpulkan oleh lebah pekerja. Kerja sama dalam pembagian tugas ini yang membuat para lebah masing-masing bisa konsentrasi menghasilkan yang terbaik bagi masyarakatnya. Tapi, suatu saat, akan muncul lebah betina muda yang kualitasnya sama bagusnya dengan Ratu lebah. Karena tidak boleh ada dua Ratu, maka sang Ratu baru ini akan pindah mencari sarang baru, dan dia bisa membawa serta lebah-lebah pengikutnya untuk membuat koloni baru tersebut.” Aditia mendengarkan keterangan Arini tanpa berkedip. Bahkan tidak ada reaksi yang terjadi ketika teropong di tangannya diambil oleh Arini.

“Tuh…. Mereka menuju pohon nangka di rumah pak Haji Soleh di depan sana. Itu artinya sarang baru mereka di sana insya Allah.” Tidak ada reaksi apa-apa atau komentar sedikitpun dari Aditia selain,

“Mbak… kenapa mereka nggak berbagi tempat saja yah ? Membangun dari awal kan sulit, banyak resikonya. Padahal mereka di tempat yang lama sudah kenal dengan segala macam situasi, namanya juga lahir dan besar di sana. Kalau di tempat baru kan, masih asing. Belum bikin sarangnya yang buang waktu, belum nyari tempat buat nyari makanan, belum harus merhatiin takut kalau-kalau di tempat baru ternnyata nggak cocok dan nggak senyaman di tempat lama.” Aditia bertanya setengah bergumam.

Arini tidak langsung memberikan jawaban. Ditatapnya adik semata wayangnya itu dengan rasa sayang. Perbedaan usia di antara mereka cukup jauh. Arini masih duduk di SMP dan sudah merasa bahwa dia akan menjadi anak tunggal selamanya ketika ibu tirinya datang memberi tahu bahwa beberapa bulan lagi dia akan mendapatkan adik baru. Ibu kandung Arini memang sudah meninggal sejak Arini berusia sembilan tahun dan ayahnya menikah lagi empat tahun kemudian. Ibu barunya itulah yang memberinya adik baru bernama Aditia. Kebahagiaan mendapatkan adik baru itu, meski dari ibu yang lain, telah terwujud dalam perasaan sayang yang terasa tidak pernah mengering dari hari ke hari. Mungkin karena perbedaan usia yang jauh sehingga Arini sudah cukup mengerti bagaimana caranya menerima kehadiran adik baru.

“Mbak… ! Kok bengong sih ditanyain ?” Aditia mengguncang lengan Arini.

“Hmm, segala sesuatu itu sudah ditentukan jalannya oleh Allah dik.“

“Maksudnya mbak ?”

“Begini…,” Arini meneguk air liurnya sejenak, sekedar untuk membasahi tenggorokkannya yang terasa kering.

“Segala sesuatu di muka bumi ini dalam penciptaannya sudah diperhitungkan oleh Allah dalam sebuah ketetapan. Misalnya, tikus yang suka makan padi di sawah, ditetapkan akan mati dimakan oleh ular sawah. Karenanya, tikus yang bisa berkembang biak dengan sangat cepat itu tidak meraja lela di sawah pak tani. Nanti ular yang memakan tikus itu, akan dimakan oleh burung elang, burung elang akan dimakan oleh ular yang lebih besar dan lebih berbisa lagi, ular itu akan dimakan oleh harimau…begitu seterusnya.”

“Seperti siklus daur makanan di pelajaran biologi yah ?” Aditia bertanya sambil mengulum senyum dan duduk di sisi Arini.

“Betul. Kamu sudah sampai situ yah pelajaran biologinya ?” Arini mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut kepala adiknya itu.

“Iyah. Ekosistem namanya.” Aditia memberi keterangan dengan mimik wajah serius.

“Iyah, betul ekosistem namanya. Yah…, begitu deh dik. Al Quran sebenarnya sudah memberi pengajaran tentang pelajaran ekosistem itu terlebih dahulu jauh sebelum para ilmuwan biologi mengemukakan teori ekosistemnya. Semuanya disebut sebagai ketetapan dari Allah bagi manusia dan bumi tempat tinggalnya. Allah itu sudah memperhitungkan atas segala sesuatu yagn diciptakanNya, dan perhitungan Allah itu sudah meliputi mulai hal yang rumit sampai hal paling sepele. Tidak ada yang sia-sia dalam ciptaanNya. Kita meyakininya sebagai takdir yang sudah ditetapkan atas segala sesuatunya. Jadi tiap-tiap makhluk itu sudah ditentukan bahwa dia akan berjalan menggunakan kakinya misalnya, atau si A terlahir sebagai wanita sedangkan B sebagai pria, atau gajah akan mengibaskan telinga lebarnya agar tubuh besarnya tetap dalam keadaan seimbang dan kulit tebalnya tidak menimbulkan rasa penat kepanasan. Lembu yang sulit mengusir kutu-kutu di tubuhnya akan dibantu oleh burung yang akan memakan kutu-kutu itu. Itulah takdir, ketetapan Allah atas segala sesuatunya. Setiap kelemahan yang ada pada setiap makhluk ciptaan Allah selalu diiringi dengan kelebihan tersendiri dan itulah yang menjadi perlindungan bagi makhluk itu.”

Arini berhenti bicara dan mendapati Aditia sedang menatapnya tanpa berkedip dengan mulut menganga. Adiknya itu tampak mempertautkan kedua alisnya dan keningnya pun tampak berkerut-kerut. Wah, pasti tadi Arini sudah terlalu bersemangat bercerita panjang lebar mengalahkan semua singa podium. Arini tersenyum sumringah, malu sendiri.

“Bingung yah Dik ?” Arini menjentikkan dagu Aditia yang turun ke bawah hingga mulut Aditia yang terbuka karena bengong tertutup. Tapi Aditia mengangguk cepat sebagai reaksi akhirnya.

“Iyah.. ribet banget sih mbak neranginnya. Puanjanggggggg kayak kereta api. ” Arini tersenyum dan mengacak-acak rambut Aditia.

“Hmm, kalau gitu…, kamu ambil Al Quran dan ensiklopedia tentang lingkungan hidup gih, mbak terangin satu-satu.”

“Hah ?” Aditia menatap Arini masih dalam sisa bengongnya.

“Ngaji ? Ihhhh…, malas ah ! Nanti juga Adit ngaji di TPA.” Aditia spontan bangkit berdiri dan berjalan mundur menjauhi Arini.

“Yee…, bukan lagi. Kita belajar eh bukan… kita buat penelitian tentang lingkungan sekitar, hmm, soal lebah juga boleh dibahas nanti, tapi dihubungkan dengan Al Quran, asyik loh… tadabur alam namanya. “ Aditia masih menatap Arini ragu-ragu. Arini hanya tersenyum dan memasang wajah serius buru-buru.

“Pokoknya beda deh ama ngaji kayak di pengajian itu, ini lebih asyik.” Tidak ada reaksi dari Aditia, yang ada adalah rasa kurang percaya yagn terlukis di wajahnya.

“Coba dulu, kamu belum tahu kan, jadi jangan curiga dulu bahwa hal ini akan membosankan.” Glek ! Arini jadi teringat sesuatu. Astaghfirullah, itulah yang terjadi pada dirinya sendiri beberapa hari belakangan ini. Rasa curiga, prasangka buruk akan ketetapan hari esok yang akan dia jalani.

Ya Allah, terima kasih Engkau telah mengingatkan hamba hari ini.

Kehidupan setiap makhluk itu sudah diperhitungkan oleh Allah, dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pengasih. Dia tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hambaNya. Jadi apapun yang terjadi di hari esok tentunya sudah ada dalam perhitunganNya. Kenapa harus ragu dan bingung ? Wahh.. kenapa bisa lupa yah ? Arini semakin mantap kini dan itu mempengaruhi semangatnya untuk menerangkan banyak hal pada adik semata wayangnya itu. Semua pertanyaan dia coba jawab dengan kalimat sederhana dan santai dan dicoba untuk dikaitkan dengan Al Quran, agar adiknya tidak lagi mempunyai prasangka bahwa mengkaji Al Quran itu adalah sesuatu yang membosankan. Untuk jatuh cinta pada Al Quran itu harus dimulai dengan mengenalnya terlebih dahulu.

“Mbak…, memangnya ada yah binatang menyusui yang bertelur ?” Aditia tidak henti-hentinya bertanya, hingga matahari condong ke arah barat, dan azan ashar terdengar di kejauhan.

Nanti malam, bulan purnama muncul lagi, dan insya Allah itu adalah bulan purnama terakhir yang bisa Arini nikmati dari bingkai jendela kamarnya sebagai seorang gadis, karena minggu depan dia akan menikah. Arini tersenyum dalam hati, keyakinannya akan perlindungan Allah kian menancap erat di dalam hati. Terserah bagaimana warna hari esok, karena yang utama itu adalah apa yang kita usahakan hari ini. Jika kita melakukannya dengan baik insya Allah hasilnya akan baik pula dan akan lebih baik lagi jika diiringi dengan tujuan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah semata. Subhanallah, Maha Suci Allah.

---00000---


“Dia Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya takdir (ketetapan) yang sesempurna-sempurnanya “(QS. 25 :2)

“Dan tidak sesuatu pun kecuali ada di sisi Kami khasanah (sumber)nya dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan kadar (ukuran) tertentu”(QS. 15 :21)

* Biodata Penulis
Ade Anita itulah namanya dilahirkan di Jakarta 26 september 1970 pendidikan terakhirnya S1 FISIP UI, Depok Jururan Ilmu Kesehatan Sosial kini tinggal di Jakarta Selatan. Ibu dari 3 orang anak ini meski disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dia masih meluangkan waktunya untuk menulis dan mengasuh rubrik uneq2 di www.kafemuslimah.com. Bukunya yang telah terbit 1. CInta Bintang Kejora, Gema Insani Press, thn 2003 dan 2. Selamat TInggal kabutku sayang, GIP, thn 2004. Demianlah biodata singkatnya

Kamis, 28 Januari 2010

MENCONGKEL JEJAK IBU

Cerpen Anita Rachmat

Pada hari kematian ibuku,
di subuh yang dingin dan berembun itu, ponselku berbunyi nada pesan singkat dan berisi dua larik kalimat berbaris. Ibu meninggal, cepat pulang. Jarum jam menunjuk pukul 03.58. Detik itu, aku diam menatap layar ponsel yang menyala dan sebentar kemudian mati. Tulisan itu tak lagi terbaca mataku.
Aku duduk memeluk lutut. Semenit. Dua menit. Sepuluh menit. Lalu aku merebahkan diriku. Menarik selimut yang tadi tersingkap saat aku menggerayangi sekitar bantalku mencari ponsel. Ibu meninggal. Aku menerawangi keremangan langit-langit kamarku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Kulirik nama yang tercantum di layer kecil itu. Pamanku.

Hampir setengah menit benda itu bergetar. Tak kuhiraukan. Kumiringkan posisi tubuhku menghadap tembok sambil memegang ponsel. Dan tiba-tiba bergetar lagi. Pamanku yang lain. Tak kuhiraukan lagi. Lekat-lekat kupandangi tembok di depan mataku. Tembok polos yang temaram oleh cahaya lampu tidur.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda pesan masuk. Semenit. Tiga menit. Lima menit. 15 menit. Kubuka pesan singkat itu. Sama seperti kabar dari adikku tadi.

Ibuku meninggal. Kududukkan lagi tubuhku. Kuterawang tembok didepanku. Kutembus butiran padat itu dengan harapan akan muncul suasana dirumahku detik itu pula. Gagal. Hanya ada tembok. Kugeser pantatku menuju kepala tempat tidur dan kusandarkan kepalaku di sana. Ibuku meninggal.


Pada hari kematian ibuku,
kupandang deret pohon yang seperti berkejaran dari kaca jendela bis yang sedang kutumpangi. Dengan hati dan perasaan hampa, tepat pukul 06.00 akhirnya aku naik bis menuju rumahku yang sedang berduka. Kupilih kursi paling belakang tepat dipinggir jendela, dengan harapan penumpang akan malas memilih tempat yang kurang nyaman itu.

Ya. Ibuku meninggal dan aku ingin menikmati sendiri tanpa sapa dan basa basi. Aku ingin menikmati kenangan apa saja yang sudah tercipta antara aku dan ibuku serta saudara - saudaraku. Aku ingin melihat seperti apa senyum ibuku yang terakhir dan terekam dalam pita ingatanku. Aku ingin mendengar suara terakhir ibuku yang sempat tertangkap telingaku.

Aku ingin merasakan sentuhan terakhir ibu yang mungkin masih membekas di salah satu sudut kulitku. Aku ingin melihat sekujur tubuh ibuku saat terakhir kami berhadapan tanpa kata. Sebenarnya aku ingin mengingat semua itu. Namun keinginan itu sepertinya tersumbat saat ingin keluar.

Aku gagal mengingatnya dengan baik. Padahal perjalanan bersama bis pengap ini masih beberapa jam lagi. Lalu apa yang harus ku ingat dari kematian ibuku hari ini. Aku ingin bersedih untuknya laiknya anak yang ditinggal mati orang tuanya. Aku ingin tersedu sedan untuk kematiannya. Nyatanya, bersama laju bis ini wajahku masih kaku dan semua keinginanku lebur bersama derunya yang meraung.



Pada hari kematian ibuku,
setelah hampir empat jam perjalanan, aku berharap tidak akan melihat jenazah ibuku. Sesungguhnya aku ingin melihatnya. Tapi ah! Tidak, aku tidak ingin melihatnya. Tapi aku ini anaknya dan dia ibuku. Sungguh, sebenarnya aku tak ingin melihat jasadnya itu.

Aku ingin agar saat aku datang nanti semua sudah bersih. Tak ada ceceran bunga, wangi sabun untuk memandikan jenazah atau ceceran air mata saudara-saudaraku. Aku ingin agar saat menginjakkan kakiku di rumah setengah jam lagi ini, dalam suasana pulang seperti biasa. Bahwa jika ibuku tak ada, mungkin saat itu dia sedang ke rumah salah satu tetangga atau sedang ke rumah paman atau bibiku. Atau paling mengkhawatirkan sedang ke dokter untuk cek kesehatan yang rutin dilakukannya.

Jika pun nanti di rumah masih banyak orang, mungkin mereka hanya main-main saja atau ada perlu dengan kakak, adik atau ayahku. Atau kalau pun nanti di dapur ada berkarung karung beras, mungkin ayahku baru saja menggiling padi.

Aku ingin saat pulang nanti tak ada aroma kematian dalam perasaanku. Bahwa saat ini aku ingin pulang, karena aku wajib merindukan ibuku. Tiba-tiba laju bis memelan. Kugerak-gerakkan badanku yang agak kaku setelah duduk hampir lima jam. Terminal tujuanku hampir sampai. Dua ribu meter. Seribu limaratus meter. Seribu meter. Lima ratus meter. Seratus meter. Keriuhan terminal menyambut jejak kakiku. Seketika semua keinginan tentang ibuku buyar dari lamunanku.

Aku melangkah menuju ruang tunggu. Berharap ada wajah yang kukenal menjemput diriku yang sebenarnya ingin berduka ini. Tak ada. Mungkin belum datang. Karena tadi ada pesan singkat masuk, aku akan dijemput salah seorang pamanku. Tapi seharusnya pamanku lah yang harus menungguku, bukan aku. Terlintas dipikirku, bahwa berita kematian ibuku bohong. Mungkin ibuku hanya sakit dan dirawat di rumah sakit. Atau ibuku hanya ingin bertemu denganku karena satu hal penting dan agar aku cepat pulang, maka adikku bercanda keterlaluan dengan mewartakan ibu meninggal.

Kau jarang pulang. Ibu sering memikirkanmu dan kalau kukatakan ibu merindukanku, kau selalu tak percaya. Begitu kata adikku suatu ketika saat kukatakan aku malas pulang sekitar lima bulan yang lalu. Aku masih berdiri menunggu sambil memutar mutar dan kadang mengelus elus handphoneku yang terasa hangat.

Dikejauhan, di pintu gerbang masuk terminal kulihat pamanku datang dengan sepeda motornya. Wajahnya tenang tak menampakkan kepanikan. Tanpa banyak bicara aku langsung menuju jok sepeda motor itu dan melaju dengan kecepatan sedang.



Pada hari kematian ibuku,
harapan dan keinginan yang sudah ku skenario di bis tadi buyar semua. Begitu memasuki halaman rumahku yang luas, ratusan orang bergerombol di beberapa titik. Tatap mata mereka langsung melesat kearahku dan pamanku yang pelan-pelan memasuki halaman rumah.

Kudengar hampir semua berbisik-bisik. Berapa lama sih perjalanannya, kok jam segini baru sampai. Kudengar gerutuan suara laki-laki dari sebelah kananku. Aku diam. Kasihan jenazah ibunya, menunggu terlalu lama. Kudengar lagi gerutu yang membisik dari arah yang lain. Semua mata yang tercecer dari semua sudut rumahku saat itu kurasakan menancap di sekujur tubuhku.

Bak ribuan anak panah yang tepat menuju sasarannya, tubuhku yang sedang berjalan menuju ruang tamu yang juga sudah disesaki pelayat. Di tengah ruangan tubuh ibuku membujur dalam balutan kain kafan. Hanya wajahnya masih tertutup kain tembus pandang. Seakan-akan wajah itu telah dipersiapkan hanya untuk kulihat terakhir kali.

Aku mendekat. Sepersekian detik aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah harus beradegan seperti di film atau sinetron ? Aku duduk bersimpuh di dekat kepala ibuku. Kupandangi wajah dengan mata terpejam rapat itu. Kukeluarkan segenap kemampuanku agar air mataku keluar. Kuusap wajah ibuku dan kucium dua pipi dan dua matanya. Tetap tak ada air mata keluar.

Wajahku hanya membeku dan kaku seperti jenazah ibuku. Tiba-tiba adik dan kakak serta ayahku memelukku dari samping kanan dan kiri. Mereka berhujan air mata. Mata sembab dan memerah. Sesaat kupeluk mereka. Ibu meninggal Kak. Begitu kata adik perempuanku itu. Lalu kudengar isakan kakak perempuanku juga. Sementara ayahku hanya mengelus-elus punggung dan rambutku dari belakang.
Selama beberapa menit kami berempat menjadi pusat tontonan di rumah sendiri.

Tak lama kemudian, ayahku berdiri dan mengatakan padaku bahwa jenazah ibu harus segera diberangkatkan. Aku hanya mengangguk dan melihat ayahku menutup lubang hidung dan dua mata ibuku dengan kapas. Lalu membungkusnya dengan kain yang masih tersisa lalu mengikat ke atas. Setelah itu beberapa saudaraku datang dan mengangkat tubuh kaku ibuku ke dalam keranda.

Hingga kerangka itu bergerak tergesa, tubuhku masih belum bereaksi seperti adik dan kakakku. Tanpa memberi alasan kepada siapa pun kukatakan aku tak mau ikut ke pemakaman. Suara dari berbagai arah yang langsung menyerangku tak kuhiraukan. Aku langsung menuju ke kamarku sedangkan adik dan kakak serta ayahku ikut mengiring jenazah.



Pada hari kematian ibuku,
Aku memilih berdiam diri saat rumahku di malam itu masih ada beberapa tetangga dan tamu yang datang. Aku menekuni selembar foto ibuku yang diam-diam kucari di laci belajar adikku tadi sore. Di samping bantalku teronggok kebaya yang seingatku kesayangan ibuku.

Kuperhatikan lekat-lekat foto ibu di temaram cahaya lampu kamar. Dia sedang duduk di kursi ruang tamu yang mungkin sejak tadi pagi dikeluarkan semua. Seingatku, foto itu diambil adikku sekitar tujuh tahun yang lalu saat ibuku masih sehat dan bugar. Kusentuh tangan ibu di foto itu, tiba-tiba, plak !!! Mataku terpejam mengingat tamparan-tamparan itu.

Lalu aku beralih menyentuh wajah dan bibirnya yang langsung membunyikan lagi ucapan-ucapan yang mengalirkan air mataku puluhan tahun lalu itu. Kuletakkan foto itu. Lalu aku duduk. Kenapa sampai sekarang belum setetes pun air mataku mengalir ?

Kenapa saat dia kubutuhkan, tidak juga hadir meski hanya di salah satu mataku. Dua-duanya kerontang bahkan tak mau berembun. Kenapa aku tak bisa bersedih selaiknya orang berduka kehilangan ibu ? Kenapa hatiku beku di saat harus luruh dan meleleh. Tiba-tiba aku tergugu. Menyesali semua perasaan yang tak seharusnya itu. Air mata itu meleleh. Untuk siapa ? (*)

Biodata Penulis

Biodata Penulis
Ia adalah seorang cerpenis yang tinggal di http://cerpenanita.wordpress.com dan sudah menikah dengan permata hatinya.

BUNGA RINDU BERMEKARAN

Oleh Kwek Lina

Gunung He Huan berkabut
Siang malam namamu kusebut
Terasa berat menanggung rindu
Sedangkah keadaan dan waktu enggan kurayu

Memandang bulan sabit
Berharap menghadirkanmu di telaganya
Namun harapanku menyempit
Bayanganmu tersapu angin ke tenggara

Di taman malam
Bunga rinduku bermekaran
Akankah angin membalikkan arahmu
datang padaku, sebelum semuanya berguguran?

Taiwan, 28 Januari 2010

Biodata Penulis
Kwek Li Na (Aling),Semitau (Pontianak), 4 April 1979.Ibu dari dua putra. Saat ini berdomisili di Taiwan. senang menulis...apa saja.buku yang telah terbit : ~MERAH YANG MEREMAH (kumpulan puisi 10 penyair perempuan FB)

ABOUT ALLAH

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Allah
Best of the best poem

Allah
Best of the best God

Allah
Best of the best love

Allah
Not begin and not end

Al-Amien,2010

Buah Pena Pimpinan Rubrik Lembar Sastra

Sabtu, 23 Januari 2010

MEMBACA SUNYI DI MATAMU

Oleh Yayan R. Triyansyah

Membaca sunyi di matamu, ada
Setitik rona kabar suatu perjanjian.
Janji yang kita ucap di selembar malam,
Dengan aksara nafas yang tutur
Setiap hembusnya di balut mukamu mukaku.

Kita tak pernah lupa merapal mantera,
Membangkitkan jiwa-jiwa sunyi dalam diri.
Diri yang memasung suajumpa jiwa kita.
Mari kita tunaikan, sejuta aksara yang luput di mulut kita

Dan membaca sunyi di matamu, kutemukan
Ada senyum di jantungmu, kurasakan berdetak di dadaku
Dan membaca sunyi di matamu, kusaksikan
Ada jeram di diriku, kulihat mengalir di sungai darahmu

Jakarta, 8 Januari 2010

Biodata Penulis
Yayan R. Triyansyah, lahir di Rembang, Jawa Tengah sekarang tinggal di Jakarta. Pernah tercatat sebagai mahasiswa Universitas Negeri Semarang, program studi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia (tidak selesai). Beberapa puisinya dibukukan dalam Antologi bersama: pendapa 8 “SECANGKIR KOPI DAN PUISI” (TBJT, Juni 2009), Antologi bersama komunitas LEKAS(Jakarta, 2009), Antologi Penyair Nusantara “MUSIBAH GEMPA PADANG” (Kuala Lumpur, November 2009), Antologi Solidaritas 25 Sastrawan 3 Negara: Indonesia, Singapore, Malaysia, “PADANG 7,6 SR” (Singapore, November 2009), beberapa sajaknya juga dimuat media lokal maupun nasional dan berbagai milis internet. Sekarang berkhidmat di Komunitas Mata Aksara (KoMA) dan Komunitas Planet Senen (KOPS).

PELANGI

Teruntuk guru tercinta KH. Maktum Jauhari,MA

Ada pelangi dalam tiap baris katamu
Mewarnai paragraf hidupku
Tiap kali kita bertemu

Al-Amien, 2009

DARI REDAKSI

Assalamu'alaikum Wr.Wb

Salam kenal, salam persahabatan dan salam karya. Bagi sahabat tercinta adnnadwah yang ingin ikut berpartisipasi dalam blog ini. Kami membuka rubrik Lembar Sastra Yang berisi tentang Puisi, Cerpen dan Esay. Bagi yang berminat mengirimkan karyanya, bisa dikirim langsung melalui email sahabatfakda@yahoo.com
Demikianlah rubrik ini dibuat dan atas perhatian serta kerjasamanya. Kami haturkan terimakasih

Wa'alaikumussalam

Hormat Kami
Pimpinan Redaksi
Moh. Ghufron Cholid
087852121488

Kamis, 21 Januari 2010

Karakteristik Dakwah

Oleh. Nurul Faizah

Sesuatu yang paling penting setelah umat muslim terserang penyakit skeptis dan krisis dedikasi, adalah adanya intuisi untuk terus berjuang menyebarkan dakwah, sebagai suatu unsur yang diniscayakan keberadaannya—alat yang adequatio.

Maka tidak salah, jika Allah sangat memuliakan proses dakwah yang dilakukan oleh seorang mu’min—dari kalangan manapun—dengan kebaikan dan pahala yang berlipat. Bahkan Allah SWT telah memberikan gelar ‘khoiru ummat’ atas umat Islam karena aktivitas dakwah yang berada di pundak mereka.

Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110)

Dalam ayat lain Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk melakukan aktivitas serupa, dengan firmanNya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khoir, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104)

Dakwah diartikan sebagai misi yang begitu mulia, karena ia berfungsi sebagai pembebasan akal manusia dari kesesatan, meluruskan keraguan serta membersihkan jiwa manusia dari seruan nafsu dan belenggu syahwat. Dakwah juga berfungsi untuk menggiring manusia ke dalam keimanan yang lurus kepada Allah SWT serta keterikatan hanya kepada manhaj-Nya. Dengan kata lain, dakwah pada dasarnya merupakan misi untuk menegakkan kehidupan berdasarkan asas pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah SWT semata dan pemurnian agama hanya untuk Allah.

Untuk itulah dalam mengemban dakwah tidaklah cukup berbekal keberanian dan tekad yang kuat. Akan tetapi dakwah juga memerlukan sikap terus terang dan keberanian, kekuatan dan pemikiran dalam menentang setiap perkara yang bertentangan dengan fikroh maupun thoriqoh Islam. Selain itu, kesabaran dan kejernihan berfikir menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh para pengemban dakwah.

Rasulullah SAW merupakan contoh, teladan dan cahaya yang senantiasa bersinar bagi kita. Sementara para sahabat beliau yang mulia laksana bintang yang cemerlang. Mereka adalah orang-orang yang wajib kita ikuti. Oleh karena itu, dalam mengemban dakwah Islam kita meski memiliki kekuatan iman, komitmen yang benar, keteguhan hati serta kesucian jiwa; sebagaimana yang dimiliki oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Mahasiswi semester VII
Asal Bangkalan

Ideologi Dakwah Rasulullah

Oleh. Lidya Agustina

Suatu ketika, hanya ada satu jalan lurus yang mampu mengantarkan umat Islam menuju surga Allah. Sebuah jalan dan arah mata angin menjadi nyata dan tidak membingungkan. Begitulah ilustrasi hikmah pengutusan Rasulullah ke muka bumi ini.

Dalam Sejarah Islam, Rasulullah diutus oleh Allah SWT ke muka bumi ketika masyarakat Arab berada dalam zona hayawaniyah dan jahiliyah yang teramat sangat. Kemudian Rasulullah memperbaiki kondisi tersebut dengan jalan dakwah. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas tentang kejayaan yang pernah digenggam oleh umat Islam ketika mereka senantiasa teguh berpegang pada ajaran Islam seutuhnya. Salah satu penyebab dari problematika umat Islam yang kian bertumpuk dari hari ke hari adalah kurangnya pemahaman umat Islam terhadap diin Islam itu sendiri.

Dakwah merupakan cara yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Jadi, dengan dakwahlah kita dapat mengembalikan pemahaman seutuhnya tentang Islam.

Mengenai kewajiban dakwah, Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron : 104)

Kehidupan Rasulullah adalah kehidupan dakwah, kehidupan berjuang menghadapi berbagai pemikiran kafir, dan kehidupan mengemban risalah yang diamanahkan Allah SWT untuk disampaikan kepada manusia secara keseluruhan selama dua puluh tiga tahun lamanya, Beliau berjuang bersungguh-sungguhdan tidak mengenal lelah, berdakwah terus menerus tidak pernah sekejap pun berhenti. Mengajak manusia kepada Islam. Ia memulainya dengan menyebarkan aqidah Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran dan pandangan hidup yang menyesatkan dan menghancurkan segala bentuk kepercayaan dan tradisi nenek moyang yang jahiliyah, mengarahkan umat pada suatu kekuatan pelindung dakwah agar bisa menyebar luas ke seluruh pelosok sudut-sudut dunia dengan menggunakan taktik dan strategi dalam perjuangannya.

Apabila kita kembali kepada Al Qur’an dan As-Sunnah, terutama dengan mempelajari kembali sejarah kehidupan Rasulullah saw, jelas bagi kita bahwa untuk mengemban dakwah diperlukan berbagai kesiapan, di antaranya:

1. Membutuhkan adanya keterusterangan (tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi kebenaran). Keterusterangan itu nampak dari sikap Rasullulah saw dalam setiap kata yang diucapkan dan kejelasan setiap pemikirannya.

2. Membutuhkan adanya keberanian.
Keberanian Rasulullah saw yang paling menonjol dalam menyampaikan dakwah secara terang-terangan, tampak sekali antara lain pada saat beliau masih seorang diri; tidak ada penolong (kecuali Allah SWT), pendukung atau pembelanya, dan tidak ada harta atau senjata melainkan hanya keimanan yang kokoh kepada Allah SWT, serta keyakinan yang kuat terhadap adanya pertolongan Allah SWT. Pernah suatu ketika Abu Jahal datang melarang beliau shalat di Ka’bah, tetapi beliau tidak mempedulikannya, bahkan kembali mengulang shalatnya. Ketika itu Abu Jahal mengancam hendak menginjak leher beliau ketika sedang bersujud. Namun, tidak seorang pun di antara mereka baik Abu Jahal maupun pemimpin Mekah lainnya yang dapat menghentikan perbuatan rasulullah untuk shalat di Ka’bah.

3. Membutuhkan adanya keteguhan jiwa.
Meskipun Rasulullah menghadapi berbagai intimidasi dan provokasi dari kaumnya agar beliau meninggalkan dakwah, kemudian ditawari dengan kesenangan dunia berupa kekuasaan, harta benda, wanita, namun beliau dengan keteguhan hatinya senantiasa tegar, konsisten dan konsekuen. Keteguhan Rasulullah pun tetap beliau tampakkan di hadapan keluarganya, seperti ketika Abu Thalib pamannya meminta beliau untuk menghentikan dakwah agar tidak menyulitkan posisi pamannya di hadapan para pemuka Quraisy, Rasulullah berkata, “Demi Allah, hai pamanku. Seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan perkara dakwah ini, tiadalah akan aku tinggalkan sampai Allah memenangkan dakwah atau aku binasa karenanya.”

4. Membutuhkan pemikiran dan pengetahuan.
Dakwah pun memerlukan pemikiran dan pengetahuan, karena ayat pertama yang diturunkan adalah: “Bacalah, dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
Dalam melaksanakan fase demi fase dakwahnya, Rasulullah senantiasa dibimbing oleh wahyu, bukan tanpa suatu perencanaan dan perhitungan yang matang. Hari ini, umat kembali membutuhkan orang yang memiliki tanggung jawab serta semangat untuk melanjutkan risalah dakwah Islam, kemudian bahu membahu bekerja sama mewujudkan kembali tegaknya hukum Allah di muka bumi ini, serta menciptakan kembali generasi seperti para sahabat yang pemikiran, pemahaman, perasaan dan pandangan serta perilaku hidupnya senantiasa dipersembahkan untuk Islam dan hidupnya senantiasa dipersembahkan untuk Islam dan keridlaan Rabb-Nya semata.

Sungguh, jika kita telah berbuat sesuai dengan garis perjuangan Rasulullah, berjalan bersama di atas jalan yang pernah beliau lalui, pastilah kemenangan akan dekat. Tinggal sejauh mana kita datang, dan pertolongan Allah sesungguhnya adalah berusaha dihadapanNya.

Mahasiswi semester VII
Asal Banjarmasin

Dakwah; Sebuah Pondasi Khilafah Islamiah

Oleh: Elly ermayanti

Konsep “khairu ummah”, belakangan hanya dimaknai sebagai proses jihad, dengan memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran Islam. Sehingga kemudian, jiwa yang baik bukan lagi jiwa yang mampu bekomunikasi dengan baik sebagaimana ajaran Rasulullah. Akan tetapi jiwa yang baik dimaknai sebagai jiwa yang mampu berkorban dengan seperangkat aksi anarkis.

Allah SWT dalam al-Qur'an surah Ali Imran ayat 110, menyebut umat Islam sebagai sebaik-baik umat (khairu al-ummah) di antara sekian banyak kelompok masyarakat yang ada di dunia. "Kalian adalah khayru ummah yang diturunkan di tengah-tengah manusia…." Akan tetapi, dengan pengamatan sesaat, nyatalah bahwa umat Islam saat ini bukanlah umat yang terbaik.

Umat Islam mengalami kemunduran luar biasa di segala aspek kehidupan. Baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik maupun sains dan teknologi. Yang tampak kini hanyalah sisa-sisa kejayaan Islam di masa lalu. Secara intelektual, umat Islam mengalami apa yang disebut oleh Dr. M. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai westoxciation (peracunan Barat). Untuk kurun waktu yang cukup lama, umat Islam secara sengaja dipisahkan dari ajaran Islam oleh para penjajah.

Dalam proses alienasi (keterasingan) umat Islam dari ajaran agamanya, kaum barat semakin gencar melakukan peracunan ideologi. Sehingga membuat intelektual umat Islam menjadi sangat lemah. Karenanya, bukan saja tidak mampu mengkanter "sesat pikir" Barat, tapi juga tidak mampu melakukan dialog intelektual secara seimbang.

Setelah runtuhnya payung dunia Islam itu, bertubi-bertubi umat Islam didera berbagai persoalan. Di dunia internasional, kita menyaksikan saudara-saudara kita di Palestina masih harus terus hidup dalam penderitaan. Kendati telah berdamai dengan PLO, tapi kekejaman zionis Israel terhadap penduduk Palestina tidaklah berkurang. Termasuk juga di belahan dunia lain seperti Bosnia, Iran, Afghanistan dan lainnya.

Sementara di dalam negeri, kondisi umat Islam Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, lebih dari 100 juta penduduk jatuh ke jurang kemiskinan, 40 juta-an menganggur, jutaan anak-anak harus putus sekolah, dan jutaan lagi mengalami malnutrisi, termasuk tindakan kriminalitas kian melonjak tinggi.

Kenyataan di atas makin menegaskan, umat Islam benar-benar mundur. Setidaknya sama dengan sinyalemen Rasulullah 14 abad yang lalu dalam hadits riwayat Imam Ahmad : umat yang jumlahnya lebih dari 1,2 milyar dicabik-cabik bagai makanan oleh orang-orang rakus tanpa rasa takut. Katanya, "Akan datang di satu masa, dimana kalian dikerumuni dari berbagai arah, bagaikan segerombolan orang-orang rakus yang berkerumun berebut di sekitar hidangan". Diantara para sahabat ada yang bertanya keheranan: "Apakah karena di waktu itu kita berjumlah sedikit, ya Rasulallah? Rasul menjawab: "Bukan, bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak. Akan tetapi kalian laksana buih terapung-apung. Pada waktu itu rasa takut di hati lawanmu telah dicabut oleh Allah, dan dalam jiwamu tertanam penyakit al-wahnu" "Apa itu al-wahnu?", tanya sahabat. Jawab Rasulullah: "Cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut yang berlebih-lebihan terhadap mati".

Semua itu berpangkal pada satu hal yakni menghilangnya kehidupan yang Islami. Karenanya, menegakkan kembali kehidupan yang Islami, melalui Khilafah Islamiyyah inilah yang sesungguhnya merupakan problematika utama umat Islam (qadhiyatu al-muslimin al-mashiriah). Intinya bagaimana memberlakukan kembali hukum-hukum Allah (I'adatu al-hukmi bi ma anzalallah) secara utuh.

Dapat diyakini, hanya melalui jalan itu saja segenap problematika kontemporer umat dapat diatasi secara tepat, sehingga izzu al-Islam wa al-muslimin dapat diraih kembali.
Pertanyaannya sekarang, mengapa umat Islam-yang dalam Al-qur’an disebut sebagai sebaik-baik umat-berada dalam keadaan yang demikian menyedihkan? Syekh Amir Syakib Arsalan dalam kitabnya Limadza Ta'akhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghayruhum, melihat ada dua faktor utama, yakni faktor eksternal dan faktor internal umat Islam sendiri.

Pertama, yang dimaksud faktor eksternal penyebab kemunduran umat adalah gencarnya serangan dari luar umat. Musuh-musuh Islam, yakni orang yang tidak menyukai kebenaran Islam tegak di muka bumi. Mereka mengambil cara dengan menyebarkan pemikiran (fikrah) sekularisme ke tengah umat Islam secara samar atau terang-terangan, dengan lidah mereka atau lidah tokoh umat Islam. Akibatnya, umat Islam mengalami keterasingan (alienasi) terhadap agamanya sendiri, pemikirannya tetap terjajah kendatipun telah memproklamirkan kemerdekaan.

Kedua, faktor internal. Inti dari faktor internal penyebab kemunduran umat, menurut Syaqib Arsalan, adalah kenyataan bahwa banyak umat Islam yang justru telah meninggalkan ajaran Islam. Kemunduran pemahaman umat terhadap agama Islam itu timbul terutama setelah umat tidak lagi dibina keislamannya secara praktis. Akibatnya, tidak sedikit di antara kaum muslimin yang tidak memahami ajaran Islam pun mungkin tidak.

Dari sini, dakwah diharapkan menyadarkan umat bahwa seharusnya masyarakat ini diatur hanya dengan Islam. Sementara secara komunal, dakwah kepada umat bertujuan agar dari muslim yang berkepribadian Islam tadi terbentuk kekuatan dan dorongan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah Islam hingga terbentuk masyarakat Islam yang mengindikasikan penerapan syariat Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah. Harus tumbuh kesadaran umum (al-wa'yu al-Islamy) di tengah masyarakat bahwa hanya di bawah naungan Khilafah Islamiyyah sajalah seluruh hukum Islam dapat ditegakkan.

Mahasiswi semester VII, Fakultas Dakwah IDIA, asal Kalimantan