Asmaul Husna

Photobucket

Kamis, 28 Januari 2010

MENCONGKEL JEJAK IBU

Cerpen Anita Rachmat

Pada hari kematian ibuku,
di subuh yang dingin dan berembun itu, ponselku berbunyi nada pesan singkat dan berisi dua larik kalimat berbaris. Ibu meninggal, cepat pulang. Jarum jam menunjuk pukul 03.58. Detik itu, aku diam menatap layar ponsel yang menyala dan sebentar kemudian mati. Tulisan itu tak lagi terbaca mataku.
Aku duduk memeluk lutut. Semenit. Dua menit. Sepuluh menit. Lalu aku merebahkan diriku. Menarik selimut yang tadi tersingkap saat aku menggerayangi sekitar bantalku mencari ponsel. Ibu meninggal. Aku menerawangi keremangan langit-langit kamarku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Kulirik nama yang tercantum di layer kecil itu. Pamanku.

Hampir setengah menit benda itu bergetar. Tak kuhiraukan. Kumiringkan posisi tubuhku menghadap tembok sambil memegang ponsel. Dan tiba-tiba bergetar lagi. Pamanku yang lain. Tak kuhiraukan lagi. Lekat-lekat kupandangi tembok di depan mataku. Tembok polos yang temaram oleh cahaya lampu tidur.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda pesan masuk. Semenit. Tiga menit. Lima menit. 15 menit. Kubuka pesan singkat itu. Sama seperti kabar dari adikku tadi.

Ibuku meninggal. Kududukkan lagi tubuhku. Kuterawang tembok didepanku. Kutembus butiran padat itu dengan harapan akan muncul suasana dirumahku detik itu pula. Gagal. Hanya ada tembok. Kugeser pantatku menuju kepala tempat tidur dan kusandarkan kepalaku di sana. Ibuku meninggal.


Pada hari kematian ibuku,
kupandang deret pohon yang seperti berkejaran dari kaca jendela bis yang sedang kutumpangi. Dengan hati dan perasaan hampa, tepat pukul 06.00 akhirnya aku naik bis menuju rumahku yang sedang berduka. Kupilih kursi paling belakang tepat dipinggir jendela, dengan harapan penumpang akan malas memilih tempat yang kurang nyaman itu.

Ya. Ibuku meninggal dan aku ingin menikmati sendiri tanpa sapa dan basa basi. Aku ingin menikmati kenangan apa saja yang sudah tercipta antara aku dan ibuku serta saudara - saudaraku. Aku ingin melihat seperti apa senyum ibuku yang terakhir dan terekam dalam pita ingatanku. Aku ingin mendengar suara terakhir ibuku yang sempat tertangkap telingaku.

Aku ingin merasakan sentuhan terakhir ibu yang mungkin masih membekas di salah satu sudut kulitku. Aku ingin melihat sekujur tubuh ibuku saat terakhir kami berhadapan tanpa kata. Sebenarnya aku ingin mengingat semua itu. Namun keinginan itu sepertinya tersumbat saat ingin keluar.

Aku gagal mengingatnya dengan baik. Padahal perjalanan bersama bis pengap ini masih beberapa jam lagi. Lalu apa yang harus ku ingat dari kematian ibuku hari ini. Aku ingin bersedih untuknya laiknya anak yang ditinggal mati orang tuanya. Aku ingin tersedu sedan untuk kematiannya. Nyatanya, bersama laju bis ini wajahku masih kaku dan semua keinginanku lebur bersama derunya yang meraung.



Pada hari kematian ibuku,
setelah hampir empat jam perjalanan, aku berharap tidak akan melihat jenazah ibuku. Sesungguhnya aku ingin melihatnya. Tapi ah! Tidak, aku tidak ingin melihatnya. Tapi aku ini anaknya dan dia ibuku. Sungguh, sebenarnya aku tak ingin melihat jasadnya itu.

Aku ingin agar saat aku datang nanti semua sudah bersih. Tak ada ceceran bunga, wangi sabun untuk memandikan jenazah atau ceceran air mata saudara-saudaraku. Aku ingin agar saat menginjakkan kakiku di rumah setengah jam lagi ini, dalam suasana pulang seperti biasa. Bahwa jika ibuku tak ada, mungkin saat itu dia sedang ke rumah salah satu tetangga atau sedang ke rumah paman atau bibiku. Atau paling mengkhawatirkan sedang ke dokter untuk cek kesehatan yang rutin dilakukannya.

Jika pun nanti di rumah masih banyak orang, mungkin mereka hanya main-main saja atau ada perlu dengan kakak, adik atau ayahku. Atau kalau pun nanti di dapur ada berkarung karung beras, mungkin ayahku baru saja menggiling padi.

Aku ingin saat pulang nanti tak ada aroma kematian dalam perasaanku. Bahwa saat ini aku ingin pulang, karena aku wajib merindukan ibuku. Tiba-tiba laju bis memelan. Kugerak-gerakkan badanku yang agak kaku setelah duduk hampir lima jam. Terminal tujuanku hampir sampai. Dua ribu meter. Seribu limaratus meter. Seribu meter. Lima ratus meter. Seratus meter. Keriuhan terminal menyambut jejak kakiku. Seketika semua keinginan tentang ibuku buyar dari lamunanku.

Aku melangkah menuju ruang tunggu. Berharap ada wajah yang kukenal menjemput diriku yang sebenarnya ingin berduka ini. Tak ada. Mungkin belum datang. Karena tadi ada pesan singkat masuk, aku akan dijemput salah seorang pamanku. Tapi seharusnya pamanku lah yang harus menungguku, bukan aku. Terlintas dipikirku, bahwa berita kematian ibuku bohong. Mungkin ibuku hanya sakit dan dirawat di rumah sakit. Atau ibuku hanya ingin bertemu denganku karena satu hal penting dan agar aku cepat pulang, maka adikku bercanda keterlaluan dengan mewartakan ibu meninggal.

Kau jarang pulang. Ibu sering memikirkanmu dan kalau kukatakan ibu merindukanku, kau selalu tak percaya. Begitu kata adikku suatu ketika saat kukatakan aku malas pulang sekitar lima bulan yang lalu. Aku masih berdiri menunggu sambil memutar mutar dan kadang mengelus elus handphoneku yang terasa hangat.

Dikejauhan, di pintu gerbang masuk terminal kulihat pamanku datang dengan sepeda motornya. Wajahnya tenang tak menampakkan kepanikan. Tanpa banyak bicara aku langsung menuju jok sepeda motor itu dan melaju dengan kecepatan sedang.



Pada hari kematian ibuku,
harapan dan keinginan yang sudah ku skenario di bis tadi buyar semua. Begitu memasuki halaman rumahku yang luas, ratusan orang bergerombol di beberapa titik. Tatap mata mereka langsung melesat kearahku dan pamanku yang pelan-pelan memasuki halaman rumah.

Kudengar hampir semua berbisik-bisik. Berapa lama sih perjalanannya, kok jam segini baru sampai. Kudengar gerutuan suara laki-laki dari sebelah kananku. Aku diam. Kasihan jenazah ibunya, menunggu terlalu lama. Kudengar lagi gerutu yang membisik dari arah yang lain. Semua mata yang tercecer dari semua sudut rumahku saat itu kurasakan menancap di sekujur tubuhku.

Bak ribuan anak panah yang tepat menuju sasarannya, tubuhku yang sedang berjalan menuju ruang tamu yang juga sudah disesaki pelayat. Di tengah ruangan tubuh ibuku membujur dalam balutan kain kafan. Hanya wajahnya masih tertutup kain tembus pandang. Seakan-akan wajah itu telah dipersiapkan hanya untuk kulihat terakhir kali.

Aku mendekat. Sepersekian detik aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah harus beradegan seperti di film atau sinetron ? Aku duduk bersimpuh di dekat kepala ibuku. Kupandangi wajah dengan mata terpejam rapat itu. Kukeluarkan segenap kemampuanku agar air mataku keluar. Kuusap wajah ibuku dan kucium dua pipi dan dua matanya. Tetap tak ada air mata keluar.

Wajahku hanya membeku dan kaku seperti jenazah ibuku. Tiba-tiba adik dan kakak serta ayahku memelukku dari samping kanan dan kiri. Mereka berhujan air mata. Mata sembab dan memerah. Sesaat kupeluk mereka. Ibu meninggal Kak. Begitu kata adik perempuanku itu. Lalu kudengar isakan kakak perempuanku juga. Sementara ayahku hanya mengelus-elus punggung dan rambutku dari belakang.
Selama beberapa menit kami berempat menjadi pusat tontonan di rumah sendiri.

Tak lama kemudian, ayahku berdiri dan mengatakan padaku bahwa jenazah ibu harus segera diberangkatkan. Aku hanya mengangguk dan melihat ayahku menutup lubang hidung dan dua mata ibuku dengan kapas. Lalu membungkusnya dengan kain yang masih tersisa lalu mengikat ke atas. Setelah itu beberapa saudaraku datang dan mengangkat tubuh kaku ibuku ke dalam keranda.

Hingga kerangka itu bergerak tergesa, tubuhku masih belum bereaksi seperti adik dan kakakku. Tanpa memberi alasan kepada siapa pun kukatakan aku tak mau ikut ke pemakaman. Suara dari berbagai arah yang langsung menyerangku tak kuhiraukan. Aku langsung menuju ke kamarku sedangkan adik dan kakak serta ayahku ikut mengiring jenazah.



Pada hari kematian ibuku,
Aku memilih berdiam diri saat rumahku di malam itu masih ada beberapa tetangga dan tamu yang datang. Aku menekuni selembar foto ibuku yang diam-diam kucari di laci belajar adikku tadi sore. Di samping bantalku teronggok kebaya yang seingatku kesayangan ibuku.

Kuperhatikan lekat-lekat foto ibu di temaram cahaya lampu kamar. Dia sedang duduk di kursi ruang tamu yang mungkin sejak tadi pagi dikeluarkan semua. Seingatku, foto itu diambil adikku sekitar tujuh tahun yang lalu saat ibuku masih sehat dan bugar. Kusentuh tangan ibu di foto itu, tiba-tiba, plak !!! Mataku terpejam mengingat tamparan-tamparan itu.

Lalu aku beralih menyentuh wajah dan bibirnya yang langsung membunyikan lagi ucapan-ucapan yang mengalirkan air mataku puluhan tahun lalu itu. Kuletakkan foto itu. Lalu aku duduk. Kenapa sampai sekarang belum setetes pun air mataku mengalir ?

Kenapa saat dia kubutuhkan, tidak juga hadir meski hanya di salah satu mataku. Dua-duanya kerontang bahkan tak mau berembun. Kenapa aku tak bisa bersedih selaiknya orang berduka kehilangan ibu ? Kenapa hatiku beku di saat harus luruh dan meleleh. Tiba-tiba aku tergugu. Menyesali semua perasaan yang tak seharusnya itu. Air mata itu meleleh. Untuk siapa ? (*)

Biodata Penulis

Biodata Penulis
Ia adalah seorang cerpenis yang tinggal di http://cerpenanita.wordpress.com dan sudah menikah dengan permata hatinya.

BUNGA RINDU BERMEKARAN

Oleh Kwek Lina

Gunung He Huan berkabut
Siang malam namamu kusebut
Terasa berat menanggung rindu
Sedangkah keadaan dan waktu enggan kurayu

Memandang bulan sabit
Berharap menghadirkanmu di telaganya
Namun harapanku menyempit
Bayanganmu tersapu angin ke tenggara

Di taman malam
Bunga rinduku bermekaran
Akankah angin membalikkan arahmu
datang padaku, sebelum semuanya berguguran?

Taiwan, 28 Januari 2010

Biodata Penulis
Kwek Li Na (Aling),Semitau (Pontianak), 4 April 1979.Ibu dari dua putra. Saat ini berdomisili di Taiwan. senang menulis...apa saja.buku yang telah terbit : ~MERAH YANG MEREMAH (kumpulan puisi 10 penyair perempuan FB)

ABOUT ALLAH

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Allah
Best of the best poem

Allah
Best of the best God

Allah
Best of the best love

Allah
Not begin and not end

Al-Amien,2010

Buah Pena Pimpinan Rubrik Lembar Sastra

Sabtu, 23 Januari 2010

MEMBACA SUNYI DI MATAMU

Oleh Yayan R. Triyansyah

Membaca sunyi di matamu, ada
Setitik rona kabar suatu perjanjian.
Janji yang kita ucap di selembar malam,
Dengan aksara nafas yang tutur
Setiap hembusnya di balut mukamu mukaku.

Kita tak pernah lupa merapal mantera,
Membangkitkan jiwa-jiwa sunyi dalam diri.
Diri yang memasung suajumpa jiwa kita.
Mari kita tunaikan, sejuta aksara yang luput di mulut kita

Dan membaca sunyi di matamu, kutemukan
Ada senyum di jantungmu, kurasakan berdetak di dadaku
Dan membaca sunyi di matamu, kusaksikan
Ada jeram di diriku, kulihat mengalir di sungai darahmu

Jakarta, 8 Januari 2010

Biodata Penulis
Yayan R. Triyansyah, lahir di Rembang, Jawa Tengah sekarang tinggal di Jakarta. Pernah tercatat sebagai mahasiswa Universitas Negeri Semarang, program studi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia (tidak selesai). Beberapa puisinya dibukukan dalam Antologi bersama: pendapa 8 “SECANGKIR KOPI DAN PUISI” (TBJT, Juni 2009), Antologi bersama komunitas LEKAS(Jakarta, 2009), Antologi Penyair Nusantara “MUSIBAH GEMPA PADANG” (Kuala Lumpur, November 2009), Antologi Solidaritas 25 Sastrawan 3 Negara: Indonesia, Singapore, Malaysia, “PADANG 7,6 SR” (Singapore, November 2009), beberapa sajaknya juga dimuat media lokal maupun nasional dan berbagai milis internet. Sekarang berkhidmat di Komunitas Mata Aksara (KoMA) dan Komunitas Planet Senen (KOPS).

PELANGI

Teruntuk guru tercinta KH. Maktum Jauhari,MA

Ada pelangi dalam tiap baris katamu
Mewarnai paragraf hidupku
Tiap kali kita bertemu

Al-Amien, 2009

DARI REDAKSI

Assalamu'alaikum Wr.Wb

Salam kenal, salam persahabatan dan salam karya. Bagi sahabat tercinta adnnadwah yang ingin ikut berpartisipasi dalam blog ini. Kami membuka rubrik Lembar Sastra Yang berisi tentang Puisi, Cerpen dan Esay. Bagi yang berminat mengirimkan karyanya, bisa dikirim langsung melalui email sahabatfakda@yahoo.com
Demikianlah rubrik ini dibuat dan atas perhatian serta kerjasamanya. Kami haturkan terimakasih

Wa'alaikumussalam

Hormat Kami
Pimpinan Redaksi
Moh. Ghufron Cholid
087852121488

Kamis, 21 Januari 2010

Karakteristik Dakwah

Oleh. Nurul Faizah

Sesuatu yang paling penting setelah umat muslim terserang penyakit skeptis dan krisis dedikasi, adalah adanya intuisi untuk terus berjuang menyebarkan dakwah, sebagai suatu unsur yang diniscayakan keberadaannya—alat yang adequatio.

Maka tidak salah, jika Allah sangat memuliakan proses dakwah yang dilakukan oleh seorang mu’min—dari kalangan manapun—dengan kebaikan dan pahala yang berlipat. Bahkan Allah SWT telah memberikan gelar ‘khoiru ummat’ atas umat Islam karena aktivitas dakwah yang berada di pundak mereka.

Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110)

Dalam ayat lain Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk melakukan aktivitas serupa, dengan firmanNya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khoir, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104)

Dakwah diartikan sebagai misi yang begitu mulia, karena ia berfungsi sebagai pembebasan akal manusia dari kesesatan, meluruskan keraguan serta membersihkan jiwa manusia dari seruan nafsu dan belenggu syahwat. Dakwah juga berfungsi untuk menggiring manusia ke dalam keimanan yang lurus kepada Allah SWT serta keterikatan hanya kepada manhaj-Nya. Dengan kata lain, dakwah pada dasarnya merupakan misi untuk menegakkan kehidupan berdasarkan asas pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah SWT semata dan pemurnian agama hanya untuk Allah.

Untuk itulah dalam mengemban dakwah tidaklah cukup berbekal keberanian dan tekad yang kuat. Akan tetapi dakwah juga memerlukan sikap terus terang dan keberanian, kekuatan dan pemikiran dalam menentang setiap perkara yang bertentangan dengan fikroh maupun thoriqoh Islam. Selain itu, kesabaran dan kejernihan berfikir menjadi sesuatu yang harus dimiliki oleh para pengemban dakwah.

Rasulullah SAW merupakan contoh, teladan dan cahaya yang senantiasa bersinar bagi kita. Sementara para sahabat beliau yang mulia laksana bintang yang cemerlang. Mereka adalah orang-orang yang wajib kita ikuti. Oleh karena itu, dalam mengemban dakwah Islam kita meski memiliki kekuatan iman, komitmen yang benar, keteguhan hati serta kesucian jiwa; sebagaimana yang dimiliki oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Mahasiswi semester VII
Asal Bangkalan

Ideologi Dakwah Rasulullah

Oleh. Lidya Agustina

Suatu ketika, hanya ada satu jalan lurus yang mampu mengantarkan umat Islam menuju surga Allah. Sebuah jalan dan arah mata angin menjadi nyata dan tidak membingungkan. Begitulah ilustrasi hikmah pengutusan Rasulullah ke muka bumi ini.

Dalam Sejarah Islam, Rasulullah diutus oleh Allah SWT ke muka bumi ketika masyarakat Arab berada dalam zona hayawaniyah dan jahiliyah yang teramat sangat. Kemudian Rasulullah memperbaiki kondisi tersebut dengan jalan dakwah. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas tentang kejayaan yang pernah digenggam oleh umat Islam ketika mereka senantiasa teguh berpegang pada ajaran Islam seutuhnya. Salah satu penyebab dari problematika umat Islam yang kian bertumpuk dari hari ke hari adalah kurangnya pemahaman umat Islam terhadap diin Islam itu sendiri.

Dakwah merupakan cara yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Jadi, dengan dakwahlah kita dapat mengembalikan pemahaman seutuhnya tentang Islam.

Mengenai kewajiban dakwah, Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron : 104)

Kehidupan Rasulullah adalah kehidupan dakwah, kehidupan berjuang menghadapi berbagai pemikiran kafir, dan kehidupan mengemban risalah yang diamanahkan Allah SWT untuk disampaikan kepada manusia secara keseluruhan selama dua puluh tiga tahun lamanya, Beliau berjuang bersungguh-sungguhdan tidak mengenal lelah, berdakwah terus menerus tidak pernah sekejap pun berhenti. Mengajak manusia kepada Islam. Ia memulainya dengan menyebarkan aqidah Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran dan pandangan hidup yang menyesatkan dan menghancurkan segala bentuk kepercayaan dan tradisi nenek moyang yang jahiliyah, mengarahkan umat pada suatu kekuatan pelindung dakwah agar bisa menyebar luas ke seluruh pelosok sudut-sudut dunia dengan menggunakan taktik dan strategi dalam perjuangannya.

Apabila kita kembali kepada Al Qur’an dan As-Sunnah, terutama dengan mempelajari kembali sejarah kehidupan Rasulullah saw, jelas bagi kita bahwa untuk mengemban dakwah diperlukan berbagai kesiapan, di antaranya:

1. Membutuhkan adanya keterusterangan (tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi kebenaran). Keterusterangan itu nampak dari sikap Rasullulah saw dalam setiap kata yang diucapkan dan kejelasan setiap pemikirannya.

2. Membutuhkan adanya keberanian.
Keberanian Rasulullah saw yang paling menonjol dalam menyampaikan dakwah secara terang-terangan, tampak sekali antara lain pada saat beliau masih seorang diri; tidak ada penolong (kecuali Allah SWT), pendukung atau pembelanya, dan tidak ada harta atau senjata melainkan hanya keimanan yang kokoh kepada Allah SWT, serta keyakinan yang kuat terhadap adanya pertolongan Allah SWT. Pernah suatu ketika Abu Jahal datang melarang beliau shalat di Ka’bah, tetapi beliau tidak mempedulikannya, bahkan kembali mengulang shalatnya. Ketika itu Abu Jahal mengancam hendak menginjak leher beliau ketika sedang bersujud. Namun, tidak seorang pun di antara mereka baik Abu Jahal maupun pemimpin Mekah lainnya yang dapat menghentikan perbuatan rasulullah untuk shalat di Ka’bah.

3. Membutuhkan adanya keteguhan jiwa.
Meskipun Rasulullah menghadapi berbagai intimidasi dan provokasi dari kaumnya agar beliau meninggalkan dakwah, kemudian ditawari dengan kesenangan dunia berupa kekuasaan, harta benda, wanita, namun beliau dengan keteguhan hatinya senantiasa tegar, konsisten dan konsekuen. Keteguhan Rasulullah pun tetap beliau tampakkan di hadapan keluarganya, seperti ketika Abu Thalib pamannya meminta beliau untuk menghentikan dakwah agar tidak menyulitkan posisi pamannya di hadapan para pemuka Quraisy, Rasulullah berkata, “Demi Allah, hai pamanku. Seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan perkara dakwah ini, tiadalah akan aku tinggalkan sampai Allah memenangkan dakwah atau aku binasa karenanya.”

4. Membutuhkan pemikiran dan pengetahuan.
Dakwah pun memerlukan pemikiran dan pengetahuan, karena ayat pertama yang diturunkan adalah: “Bacalah, dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
Dalam melaksanakan fase demi fase dakwahnya, Rasulullah senantiasa dibimbing oleh wahyu, bukan tanpa suatu perencanaan dan perhitungan yang matang. Hari ini, umat kembali membutuhkan orang yang memiliki tanggung jawab serta semangat untuk melanjutkan risalah dakwah Islam, kemudian bahu membahu bekerja sama mewujudkan kembali tegaknya hukum Allah di muka bumi ini, serta menciptakan kembali generasi seperti para sahabat yang pemikiran, pemahaman, perasaan dan pandangan serta perilaku hidupnya senantiasa dipersembahkan untuk Islam dan hidupnya senantiasa dipersembahkan untuk Islam dan keridlaan Rabb-Nya semata.

Sungguh, jika kita telah berbuat sesuai dengan garis perjuangan Rasulullah, berjalan bersama di atas jalan yang pernah beliau lalui, pastilah kemenangan akan dekat. Tinggal sejauh mana kita datang, dan pertolongan Allah sesungguhnya adalah berusaha dihadapanNya.

Mahasiswi semester VII
Asal Banjarmasin

Dakwah; Sebuah Pondasi Khilafah Islamiah

Oleh: Elly ermayanti

Konsep “khairu ummah”, belakangan hanya dimaknai sebagai proses jihad, dengan memaksa orang lain untuk melaksanakan ajaran Islam. Sehingga kemudian, jiwa yang baik bukan lagi jiwa yang mampu bekomunikasi dengan baik sebagaimana ajaran Rasulullah. Akan tetapi jiwa yang baik dimaknai sebagai jiwa yang mampu berkorban dengan seperangkat aksi anarkis.

Allah SWT dalam al-Qur'an surah Ali Imran ayat 110, menyebut umat Islam sebagai sebaik-baik umat (khairu al-ummah) di antara sekian banyak kelompok masyarakat yang ada di dunia. "Kalian adalah khayru ummah yang diturunkan di tengah-tengah manusia…." Akan tetapi, dengan pengamatan sesaat, nyatalah bahwa umat Islam saat ini bukanlah umat yang terbaik.

Umat Islam mengalami kemunduran luar biasa di segala aspek kehidupan. Baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik maupun sains dan teknologi. Yang tampak kini hanyalah sisa-sisa kejayaan Islam di masa lalu. Secara intelektual, umat Islam mengalami apa yang disebut oleh Dr. M. Amien Rais (Cakrawala Islam, 1991) sebagai westoxciation (peracunan Barat). Untuk kurun waktu yang cukup lama, umat Islam secara sengaja dipisahkan dari ajaran Islam oleh para penjajah.

Dalam proses alienasi (keterasingan) umat Islam dari ajaran agamanya, kaum barat semakin gencar melakukan peracunan ideologi. Sehingga membuat intelektual umat Islam menjadi sangat lemah. Karenanya, bukan saja tidak mampu mengkanter "sesat pikir" Barat, tapi juga tidak mampu melakukan dialog intelektual secara seimbang.

Setelah runtuhnya payung dunia Islam itu, bertubi-bertubi umat Islam didera berbagai persoalan. Di dunia internasional, kita menyaksikan saudara-saudara kita di Palestina masih harus terus hidup dalam penderitaan. Kendati telah berdamai dengan PLO, tapi kekejaman zionis Israel terhadap penduduk Palestina tidaklah berkurang. Termasuk juga di belahan dunia lain seperti Bosnia, Iran, Afghanistan dan lainnya.

Sementara di dalam negeri, kondisi umat Islam Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, lebih dari 100 juta penduduk jatuh ke jurang kemiskinan, 40 juta-an menganggur, jutaan anak-anak harus putus sekolah, dan jutaan lagi mengalami malnutrisi, termasuk tindakan kriminalitas kian melonjak tinggi.

Kenyataan di atas makin menegaskan, umat Islam benar-benar mundur. Setidaknya sama dengan sinyalemen Rasulullah 14 abad yang lalu dalam hadits riwayat Imam Ahmad : umat yang jumlahnya lebih dari 1,2 milyar dicabik-cabik bagai makanan oleh orang-orang rakus tanpa rasa takut. Katanya, "Akan datang di satu masa, dimana kalian dikerumuni dari berbagai arah, bagaikan segerombolan orang-orang rakus yang berkerumun berebut di sekitar hidangan". Diantara para sahabat ada yang bertanya keheranan: "Apakah karena di waktu itu kita berjumlah sedikit, ya Rasulallah? Rasul menjawab: "Bukan, bahkan jumlah kalian pada waktu itu banyak. Akan tetapi kalian laksana buih terapung-apung. Pada waktu itu rasa takut di hati lawanmu telah dicabut oleh Allah, dan dalam jiwamu tertanam penyakit al-wahnu" "Apa itu al-wahnu?", tanya sahabat. Jawab Rasulullah: "Cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut yang berlebih-lebihan terhadap mati".

Semua itu berpangkal pada satu hal yakni menghilangnya kehidupan yang Islami. Karenanya, menegakkan kembali kehidupan yang Islami, melalui Khilafah Islamiyyah inilah yang sesungguhnya merupakan problematika utama umat Islam (qadhiyatu al-muslimin al-mashiriah). Intinya bagaimana memberlakukan kembali hukum-hukum Allah (I'adatu al-hukmi bi ma anzalallah) secara utuh.

Dapat diyakini, hanya melalui jalan itu saja segenap problematika kontemporer umat dapat diatasi secara tepat, sehingga izzu al-Islam wa al-muslimin dapat diraih kembali.
Pertanyaannya sekarang, mengapa umat Islam-yang dalam Al-qur’an disebut sebagai sebaik-baik umat-berada dalam keadaan yang demikian menyedihkan? Syekh Amir Syakib Arsalan dalam kitabnya Limadza Ta'akhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghayruhum, melihat ada dua faktor utama, yakni faktor eksternal dan faktor internal umat Islam sendiri.

Pertama, yang dimaksud faktor eksternal penyebab kemunduran umat adalah gencarnya serangan dari luar umat. Musuh-musuh Islam, yakni orang yang tidak menyukai kebenaran Islam tegak di muka bumi. Mereka mengambil cara dengan menyebarkan pemikiran (fikrah) sekularisme ke tengah umat Islam secara samar atau terang-terangan, dengan lidah mereka atau lidah tokoh umat Islam. Akibatnya, umat Islam mengalami keterasingan (alienasi) terhadap agamanya sendiri, pemikirannya tetap terjajah kendatipun telah memproklamirkan kemerdekaan.

Kedua, faktor internal. Inti dari faktor internal penyebab kemunduran umat, menurut Syaqib Arsalan, adalah kenyataan bahwa banyak umat Islam yang justru telah meninggalkan ajaran Islam. Kemunduran pemahaman umat terhadap agama Islam itu timbul terutama setelah umat tidak lagi dibina keislamannya secara praktis. Akibatnya, tidak sedikit di antara kaum muslimin yang tidak memahami ajaran Islam pun mungkin tidak.

Dari sini, dakwah diharapkan menyadarkan umat bahwa seharusnya masyarakat ini diatur hanya dengan Islam. Sementara secara komunal, dakwah kepada umat bertujuan agar dari muslim yang berkepribadian Islam tadi terbentuk kekuatan dan dorongan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah Islam hingga terbentuk masyarakat Islam yang mengindikasikan penerapan syariat Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah. Harus tumbuh kesadaran umum (al-wa'yu al-Islamy) di tengah masyarakat bahwa hanya di bawah naungan Khilafah Islamiyyah sajalah seluruh hukum Islam dapat ditegakkan.

Mahasiswi semester VII, Fakultas Dakwah IDIA, asal Kalimantan