Asmaul Husna

Photobucket

Kamis, 28 Januari 2010

MENCONGKEL JEJAK IBU

Cerpen Anita Rachmat

Pada hari kematian ibuku,
di subuh yang dingin dan berembun itu, ponselku berbunyi nada pesan singkat dan berisi dua larik kalimat berbaris. Ibu meninggal, cepat pulang. Jarum jam menunjuk pukul 03.58. Detik itu, aku diam menatap layar ponsel yang menyala dan sebentar kemudian mati. Tulisan itu tak lagi terbaca mataku.
Aku duduk memeluk lutut. Semenit. Dua menit. Sepuluh menit. Lalu aku merebahkan diriku. Menarik selimut yang tadi tersingkap saat aku menggerayangi sekitar bantalku mencari ponsel. Ibu meninggal. Aku menerawangi keremangan langit-langit kamarku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Kulirik nama yang tercantum di layer kecil itu. Pamanku.

Hampir setengah menit benda itu bergetar. Tak kuhiraukan. Kumiringkan posisi tubuhku menghadap tembok sambil memegang ponsel. Dan tiba-tiba bergetar lagi. Pamanku yang lain. Tak kuhiraukan lagi. Lekat-lekat kupandangi tembok di depan mataku. Tembok polos yang temaram oleh cahaya lampu tidur.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda pesan masuk. Semenit. Tiga menit. Lima menit. 15 menit. Kubuka pesan singkat itu. Sama seperti kabar dari adikku tadi.

Ibuku meninggal. Kududukkan lagi tubuhku. Kuterawang tembok didepanku. Kutembus butiran padat itu dengan harapan akan muncul suasana dirumahku detik itu pula. Gagal. Hanya ada tembok. Kugeser pantatku menuju kepala tempat tidur dan kusandarkan kepalaku di sana. Ibuku meninggal.


Pada hari kematian ibuku,
kupandang deret pohon yang seperti berkejaran dari kaca jendela bis yang sedang kutumpangi. Dengan hati dan perasaan hampa, tepat pukul 06.00 akhirnya aku naik bis menuju rumahku yang sedang berduka. Kupilih kursi paling belakang tepat dipinggir jendela, dengan harapan penumpang akan malas memilih tempat yang kurang nyaman itu.

Ya. Ibuku meninggal dan aku ingin menikmati sendiri tanpa sapa dan basa basi. Aku ingin menikmati kenangan apa saja yang sudah tercipta antara aku dan ibuku serta saudara - saudaraku. Aku ingin melihat seperti apa senyum ibuku yang terakhir dan terekam dalam pita ingatanku. Aku ingin mendengar suara terakhir ibuku yang sempat tertangkap telingaku.

Aku ingin merasakan sentuhan terakhir ibu yang mungkin masih membekas di salah satu sudut kulitku. Aku ingin melihat sekujur tubuh ibuku saat terakhir kami berhadapan tanpa kata. Sebenarnya aku ingin mengingat semua itu. Namun keinginan itu sepertinya tersumbat saat ingin keluar.

Aku gagal mengingatnya dengan baik. Padahal perjalanan bersama bis pengap ini masih beberapa jam lagi. Lalu apa yang harus ku ingat dari kematian ibuku hari ini. Aku ingin bersedih untuknya laiknya anak yang ditinggal mati orang tuanya. Aku ingin tersedu sedan untuk kematiannya. Nyatanya, bersama laju bis ini wajahku masih kaku dan semua keinginanku lebur bersama derunya yang meraung.



Pada hari kematian ibuku,
setelah hampir empat jam perjalanan, aku berharap tidak akan melihat jenazah ibuku. Sesungguhnya aku ingin melihatnya. Tapi ah! Tidak, aku tidak ingin melihatnya. Tapi aku ini anaknya dan dia ibuku. Sungguh, sebenarnya aku tak ingin melihat jasadnya itu.

Aku ingin agar saat aku datang nanti semua sudah bersih. Tak ada ceceran bunga, wangi sabun untuk memandikan jenazah atau ceceran air mata saudara-saudaraku. Aku ingin agar saat menginjakkan kakiku di rumah setengah jam lagi ini, dalam suasana pulang seperti biasa. Bahwa jika ibuku tak ada, mungkin saat itu dia sedang ke rumah salah satu tetangga atau sedang ke rumah paman atau bibiku. Atau paling mengkhawatirkan sedang ke dokter untuk cek kesehatan yang rutin dilakukannya.

Jika pun nanti di rumah masih banyak orang, mungkin mereka hanya main-main saja atau ada perlu dengan kakak, adik atau ayahku. Atau kalau pun nanti di dapur ada berkarung karung beras, mungkin ayahku baru saja menggiling padi.

Aku ingin saat pulang nanti tak ada aroma kematian dalam perasaanku. Bahwa saat ini aku ingin pulang, karena aku wajib merindukan ibuku. Tiba-tiba laju bis memelan. Kugerak-gerakkan badanku yang agak kaku setelah duduk hampir lima jam. Terminal tujuanku hampir sampai. Dua ribu meter. Seribu limaratus meter. Seribu meter. Lima ratus meter. Seratus meter. Keriuhan terminal menyambut jejak kakiku. Seketika semua keinginan tentang ibuku buyar dari lamunanku.

Aku melangkah menuju ruang tunggu. Berharap ada wajah yang kukenal menjemput diriku yang sebenarnya ingin berduka ini. Tak ada. Mungkin belum datang. Karena tadi ada pesan singkat masuk, aku akan dijemput salah seorang pamanku. Tapi seharusnya pamanku lah yang harus menungguku, bukan aku. Terlintas dipikirku, bahwa berita kematian ibuku bohong. Mungkin ibuku hanya sakit dan dirawat di rumah sakit. Atau ibuku hanya ingin bertemu denganku karena satu hal penting dan agar aku cepat pulang, maka adikku bercanda keterlaluan dengan mewartakan ibu meninggal.

Kau jarang pulang. Ibu sering memikirkanmu dan kalau kukatakan ibu merindukanku, kau selalu tak percaya. Begitu kata adikku suatu ketika saat kukatakan aku malas pulang sekitar lima bulan yang lalu. Aku masih berdiri menunggu sambil memutar mutar dan kadang mengelus elus handphoneku yang terasa hangat.

Dikejauhan, di pintu gerbang masuk terminal kulihat pamanku datang dengan sepeda motornya. Wajahnya tenang tak menampakkan kepanikan. Tanpa banyak bicara aku langsung menuju jok sepeda motor itu dan melaju dengan kecepatan sedang.



Pada hari kematian ibuku,
harapan dan keinginan yang sudah ku skenario di bis tadi buyar semua. Begitu memasuki halaman rumahku yang luas, ratusan orang bergerombol di beberapa titik. Tatap mata mereka langsung melesat kearahku dan pamanku yang pelan-pelan memasuki halaman rumah.

Kudengar hampir semua berbisik-bisik. Berapa lama sih perjalanannya, kok jam segini baru sampai. Kudengar gerutuan suara laki-laki dari sebelah kananku. Aku diam. Kasihan jenazah ibunya, menunggu terlalu lama. Kudengar lagi gerutu yang membisik dari arah yang lain. Semua mata yang tercecer dari semua sudut rumahku saat itu kurasakan menancap di sekujur tubuhku.

Bak ribuan anak panah yang tepat menuju sasarannya, tubuhku yang sedang berjalan menuju ruang tamu yang juga sudah disesaki pelayat. Di tengah ruangan tubuh ibuku membujur dalam balutan kain kafan. Hanya wajahnya masih tertutup kain tembus pandang. Seakan-akan wajah itu telah dipersiapkan hanya untuk kulihat terakhir kali.

Aku mendekat. Sepersekian detik aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah harus beradegan seperti di film atau sinetron ? Aku duduk bersimpuh di dekat kepala ibuku. Kupandangi wajah dengan mata terpejam rapat itu. Kukeluarkan segenap kemampuanku agar air mataku keluar. Kuusap wajah ibuku dan kucium dua pipi dan dua matanya. Tetap tak ada air mata keluar.

Wajahku hanya membeku dan kaku seperti jenazah ibuku. Tiba-tiba adik dan kakak serta ayahku memelukku dari samping kanan dan kiri. Mereka berhujan air mata. Mata sembab dan memerah. Sesaat kupeluk mereka. Ibu meninggal Kak. Begitu kata adik perempuanku itu. Lalu kudengar isakan kakak perempuanku juga. Sementara ayahku hanya mengelus-elus punggung dan rambutku dari belakang.
Selama beberapa menit kami berempat menjadi pusat tontonan di rumah sendiri.

Tak lama kemudian, ayahku berdiri dan mengatakan padaku bahwa jenazah ibu harus segera diberangkatkan. Aku hanya mengangguk dan melihat ayahku menutup lubang hidung dan dua mata ibuku dengan kapas. Lalu membungkusnya dengan kain yang masih tersisa lalu mengikat ke atas. Setelah itu beberapa saudaraku datang dan mengangkat tubuh kaku ibuku ke dalam keranda.

Hingga kerangka itu bergerak tergesa, tubuhku masih belum bereaksi seperti adik dan kakakku. Tanpa memberi alasan kepada siapa pun kukatakan aku tak mau ikut ke pemakaman. Suara dari berbagai arah yang langsung menyerangku tak kuhiraukan. Aku langsung menuju ke kamarku sedangkan adik dan kakak serta ayahku ikut mengiring jenazah.



Pada hari kematian ibuku,
Aku memilih berdiam diri saat rumahku di malam itu masih ada beberapa tetangga dan tamu yang datang. Aku menekuni selembar foto ibuku yang diam-diam kucari di laci belajar adikku tadi sore. Di samping bantalku teronggok kebaya yang seingatku kesayangan ibuku.

Kuperhatikan lekat-lekat foto ibu di temaram cahaya lampu kamar. Dia sedang duduk di kursi ruang tamu yang mungkin sejak tadi pagi dikeluarkan semua. Seingatku, foto itu diambil adikku sekitar tujuh tahun yang lalu saat ibuku masih sehat dan bugar. Kusentuh tangan ibu di foto itu, tiba-tiba, plak !!! Mataku terpejam mengingat tamparan-tamparan itu.

Lalu aku beralih menyentuh wajah dan bibirnya yang langsung membunyikan lagi ucapan-ucapan yang mengalirkan air mataku puluhan tahun lalu itu. Kuletakkan foto itu. Lalu aku duduk. Kenapa sampai sekarang belum setetes pun air mataku mengalir ?

Kenapa saat dia kubutuhkan, tidak juga hadir meski hanya di salah satu mataku. Dua-duanya kerontang bahkan tak mau berembun. Kenapa aku tak bisa bersedih selaiknya orang berduka kehilangan ibu ? Kenapa hatiku beku di saat harus luruh dan meleleh. Tiba-tiba aku tergugu. Menyesali semua perasaan yang tak seharusnya itu. Air mata itu meleleh. Untuk siapa ? (*)

Biodata Penulis

Biodata Penulis
Ia adalah seorang cerpenis yang tinggal di http://cerpenanita.wordpress.com dan sudah menikah dengan permata hatinya.

Tidak ada komentar: