Asmaul Husna

Photobucket

Rabu, 07 April 2010

Esai : Memetik hikmah dari puisi-puisi transendental, karya Moh.Gufron Chalid

“Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” ( Teeuw ).

Seperti yang dikatakan Teeuw di atas, seperti itulah yang saya temukan pada sajak-sajak Moh. Gufron Chalid yang terkumpul pada 17 sajak pilihan, yang di inbokkan ke saya untuk saya pelajari.

Setelah menelusuri setiap detak nafas sajak-sajak tadi, di sana saya dapat merasakan bagaimana penyair dalam menjalani proses pencarian jalan kebenaran melalui medium sastera.

Sebagai salah satu alat atau media untuk meletupkan rasa dan pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat mempengaruhi pola piker dan atau pola piker baru yang berdampak positip pada pribadi penyair serta penghayat selanjutnya, puisi,sajak, merupakan perwujudan yang tepat dari sekumpulan kata atau kalimat yang merupakan bagian dari yang namanya bahasa (baca: bahasa hati,bahasa piker,bahasa rasa, dll).

Bahwa Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Bahkan Jhon F Kennedy mantan presiden Amerika yang fonumenal mengkaitkan puisi dengan kehidupan bernegara: “ bila politik bengkok, maka Puisi yang akan meluruskannya”. Dari statemen tersebut, betapa penting dan berpengaruhnya puisi yang baik, tidak hanya dikaitkan dari sudut agama atau keyakinan saja, tapi juga terkait kuat (bila mau menyelaminya) bagi tatanan Bangsa,Negara, dan perbaikan pola piker positip bagi masyarakat dan atau indifidu penghayat.

Latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll, sangat berpengaruh sekali akan hasil perwujudan puisi, baik dalam kapasitas tekstual puisi maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi,sajak bersangkutan.

Dan factor-faktor seperti itu juga yang mempengaruhi karya-karya Moh. Ghufron Cholid yang terkumpul pada 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN.” Dimana nuansa transendental (kemenonjolan hal-hal yang bersifat spiritual/kerohanian) sangat menonjol pada setiap karyanya. Tidak perlu heran, karena lingkungan agamis yang kuat dari keluarganya serta atmosfir kehidupan pesantren, secara tidak langsung telah membentuk pola pikernya dalam berkarya cipta.

Seperti yang tertuang pada enam buah puisi Moh.Ghufron Cholid “ Menuju Pelabuhan, Sholat, Pertemuan, Selepas Subuh, Perempuan malam,dan Pengakuan “ yang saya anggap paling kuat dari segi alur, bunyi, pemaknaan, sehingga sangat-sangat menyita perhatian saya selaku penghayat, bila dibandingkan dengan puisi lainnya yang tergabung dalam 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN”, yang menurut saya terkesan hanya mengalir biasa saja.

Tajuk puisi ““Menuju Pelabuhan” yang sekaligus dijadikan sebagai puisi pembuka pada 17 kumpulan puisi pilihan Moh.Ghufron Cholid, begitu kental dengan nuansa transendental, betapa aku lirik beserta segala ketidak berdayaannya dalam menghadapi tipu daya pesona dunia nan fana, dengan tiga hal sifat yang senantiasa melekat pada insan Tuhan ( suka berkeluh kesah, tak pernah merasa puas, dan penyakit iri ), di sini aku lirik berusaha melawannya dengan cara mendekatkan diri pada sang pencipta, serta menyadari dengan sepenuh rendah hati, betapa tiada yang patut dia sombongkan di hadapan Illaihi Rabbi, serta berharap mendapat Ijabah dengan cara sujud yang sebenar-benar sujud atas segala kebesaran-Nya.

Dan nuansa seperti itu akan pembaca dapatkan pada Sajak “Menuju Pelabuhan” yang menjadi tajuk dan pembuka pada 17 kumpulan sajak terpilih Moh. Ghufron Cholid, saya petikan bait awal sajak tersebut, di bawah ini :

“Menuju pelabuhan kasihMu
Aku terkepung
Antara riak rindu dan ombak nafsu
Terkadang badai dan topan menerjangku
Aku serupa kapas
Berdansa di samudera lepas
Hilang arah tanpa batas”

Begitu kuatnya unsur transendental yang tersirat pada bait awal sajak tersebut. Dan saya yakin ini semua juga tidak terlepas dari pengaruh budaya hidup Moh.Ghufron Cholid yang sedikit tidak banyak dipengaruhi oleh atmosfir pesantren.

Puisi “Menuju Pelabuhan” ini, langsung mengingatkan saya dari sisi kekerabatan makna pada karya “CERITA BUAT IMANA TAHIRA” buah tangan penyair surealis spiritual Acep Zamzam Noor, yang sajak-sajak liris spiritualnya kebanyakan sering mengajak alam bawah sadar pemghayat untuk masuk ke dunia sufistik dalam mengungkap makna-makna yang bersifat transendental, melalui symbol-symbol alam, benda, cuaca, dll sebagai wujud pencitraan.

Seperti halnya “Menuju Pelabuhan”, Penyair Sepiritual Acep Zamzam Noor yang merupakan asset khasanah sastera tanah air ini, dalam “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, tersirat adanya suatu kekerabatan makna, yakni sama-sama tunduk dan tawaduk atas kebesaran Illaihi, betapa kita insan hanya serupa debu dihadapan Tuhan. Kurang lebih itu inti makna yang sama-sama ingin disampaikan. Mari kita baca dua bait yang saya kutip dari sajak Acep Zamzam Noor “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, di bawah ini :

“Memandang langit
Aku ingat wajah kekuasaan
Merah padam
Sedang menginjak bumi
Seperti kudengar suaraku yang sunyi

Di jalan setapak
Yang disediakan bumi tulus ini
Kata-kataku tumbuh dari udara
Kata-kataku membangun menara tinggi
Namun akhirnya runtuh juga” ( di petik dari sajak Acep Zamzam Noor )

Kekerabatan makna “Menuju Pelabuhan” ini juga bisa kita jumpai pada sajak “Doa” buah karya dari penyair D. Zawawi Imron, di mana pada karya “Doa”, penyair melalui aku lirik, betapa takjub akan kebesaran dan kekuasan Tuhan, dan betapa insan setiap mengingat kebesaranNya, terlihat kerdil tiada daya dibandingkan dengan segala kebesaran-Nya.


“bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
membangkitkan gelombang lautan rindu
menggebu menyala
dan lagu-Mu yang gemuruh
menyangkarku dalam garden-Mu” ( Dipetik dari sajak “Doa” D. Zawawi Imron ).

Suasana transendental juga akan kita jumpai pada karya “SHALAT” yang ada pada 17 sajak pilihan Moh. Gufron Chalid. Sajak pendek yang hanya satu bait dan terpeta terdiri 3 baris, saya rasa cukup berhasil membawa penghayat untuk masuk ke dalam dunia renung akan pentingnya menjalankan syariat Tuhan dengan sebaik-baiknya iman.
Secara makna, sajak ini mengingatkan saya pada tembang “Tamba Ati” karya Sunan Bonang yang sering saya nyanyikan saat saya masih kecil dan mengaji di mushola di desa saya Malang.

Sekali lagi saya katakana, secara makna, sajak Sholat ini sangat dalam, hanya secara puitika bahasa, karya ini terasa mengalir begitu saja, dalam arti, cengkeraman kuat yang bisa menghisap imaji penghayat kurang terbentuk, hal ini bisa jadi di karenakan puitisasi bahasanya yang terkesan standart ( umum).

Saya tidak membandingkan karya “Sholat” dengan” Tamba Ati” karya Sunan Bonang, namun saya hanya ingin menggambarkan betapa dengan pilihan diksi yang kuat dan susunan yang tepat, walau pendek, tembang “Tamba Ati” tetap mengemakan bunyi yang begitu mengesankan.


Saya petikan sajak “ Shalat “ dan “ Tamba Ati “, yang secara kekerabatan inti makna tidak jauh berbeda; yakni mengajak insan untuk menjalankan Syariat Tuhan dengan setulus-tulusnya ikhlas.

“Tuhan
Kau dan aku
Tak ada tabir rahasia”

Betapa di sini penyair dalam sajak “Sholat” ingin menyampaikan, bilamana kita menjalankan segala perintah-Nya ( Shalat ), ibarat pengantin dan atau bila dalam suatu rumah tangga, suami istri, tiada lagi penyekat untuk senantiasa berdekatan ( dalam koridor tanda kutip ). Sebuah pesan tersirat yang mengingatkan setiap insane ( penghayat ) untuk senantiasa tawaduk dan iklas dalam mendapatkan ijabah dari Tuhan, seperti yang ada pada larik lengkap tembang “ tamba Ati” karya Sunan Bonang dalam syiar islaminya.

“Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi

Kurang lebih maknanya seperti ini :

Obat hati itu ada lima macamnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan mengamalkan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga menjalin silahturahmi dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat menjalankan ibadah berpuasa, agar bisa memetik hikmah dari penderitaan kaum miskin.
Kelima sering-sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan. “

Jadi secara implisit seperti itulah pesan yang terkandung pada puisi pendek yang hanya 3 baris di luar judul, mempunyai kandungan makna seperti pemaknaan yang ada pada tembang “tamba Ati”, khususnya dalam pencapaian tingkat ijabah Tuhan “Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan”.

Terlepas dari kurang kuatnya daya hisap imaji karya, sajak “Sholat” ini patut untuk dibaca sebagai bahan renung agar kita senantiasa ingat dan bisa lebih dekat dengan Tuhan. Amin.

Dan pembaca akan semakin diajak bertilawah hati dalam menangkap pesan-pesan transendental yang ada pada 17 sajak pilihan karya Moh.Ghufron Cholid, yang dengan bahasa lugas dan membumi. Walau dalam kesederhanaan puitisasi bahasa, dan minimnya penggunaan majas metaphora, tapi ketotalan penyair dalam menjiwai setiap gores baris sajaknya, menjadikan sajak-sajak tersebut serasa punya roh untuk bercerita, serta memudahkan setiap pembaca dalam menerjemahkan pesan tekstual sajak dengan mudah. Seperti pada sajak “ SELEPAS SUBUH” yang merupakan bentuk penghormatan dan kekaguman penyair pada gurunya yang telah berpulang ke Rahmattullah, saya kutip penuh , seperti di bawah ini:

SELEPAS SUBUH
Teruntuk guru tercinta Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari

Guru
Selepas subuh
Rumput-rumput bertahlilan
Beburung membaca yasin
Di sekitar nisanmu
Lalu
Kusaksikan pohon-pohon doa semakin lebat daunnya
Lantas
Meneduhi nisanmu
Kemudian
Aku mengerti
Suatu hari nanti
Wajahku berganti nisan
Namun
Aku belum tahu
Apakah nisanku akan seteduh nisanmu
Namun
Aku belum tahu
Jika wajahku telah berganti nisan
Apakah rumput-rumput akan bertahlilan
Dan beburung akan membaca yasin
Semisal yang kusaksikan selepas subuh ini (Al-Amien, 2009)

( andai saja mau sedikit menyentuh tipograpi puitikanya/pemetaan baitnya, saya yakin sajak ini akan kian bernas dan semakin enak dibaca)

Akhir kata, terlepas dari segala plus minus karya sajak ini,tidaklah berlebihan bila saya katakan 17 karya pilihan Moh.Gufron Cholid ini layak untuk dibaca, sebagai salah satu jalan mencari kebenaran melalui pemikiran-pemikirannya yang dia tuangkan dalam sajak bernuansa spiritual.

Memang pembaca tidak akan menemukan permainan-permainan symbol bahasa/majas sekuat dan sekental karya-karya Acep Zamzam Noor dan D. Zawawi Imron pada kumpulan sajak-sajak “ Menuju Pelabuhan “ ini, namun begitu, dalam kelugasan puitisasi bahasa sajaknya, pembaca akan diajak bertilawah pada keteduhan iman yang dalam.

Biodata Penyair :

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 M dari pasangan KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh. Ia adalah salah seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), selain itu adalah seorang tenaga edukatif di MTs TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465 dan ditengah kesibukannya menjadi ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Pondok Pesantren Al-Amien, ia menjadikan menulis puisi sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang.

Karya-karyanya bisa dibaca di Antologi.Net, Puitika.Net, penulisindonesia.com, www.kopisastra.co.cc dan diberbagai situs online lainnya.

Mengasah Alief (2007),Antologi puisinya yang mendapat kata sambutan positip dari D. Zawawi Imron, KH. Moh. Idris Jauhari, dan Penyair Jerman. Selain itu Antologi Puisi Yaasin (2007), Antologi Puisi Toples (2009), merupakan karya-karyanya yang telah berhasil dia bukukan.

Salam lifespirit!
___________________________________________
@ Imron Tohari _ lifespirit, 20 Maret 2010

PEREMPUAN MALAM DALAM PANDANGAN DUA ANAK BANGSA BERDEDA BUDAYA

Oleh Moh. ghufron cholid

Berikut ini perkenankan saya mengulas, dua puisi yang memiliki judul yang sama yang ditulis oleh dua anak manusia berbeda negara dan budaya.
PEREMPUAN MALAM
Oleh moh. ghufron cholid


Malam berbaju petang
Cepat pulang
Biar kau tak hilang

Al-Amien, 2008
• SAJAK > 2008 > PEREMPUAN MALAM disumbangkan pada Sabtu, 20 Mac 2010 9:52:01 AM • Kali terakhir diubah pada Sabtu, 20 Mac 2010 9:52:01 AM oleh moh. ghufron cholid
Dalam puisi ini saya (Moh. Ghufron Cholid) lebih menekankan tentang keutuhan dan kesucian seorang perempuan. Kenapa puisi ini lahir, puisi ini lahir dilatar belakangi, lantaran kekhawatiran saya terhadap kaum perempuan. Saya takut, kalau perempuan berjalan di malam hari banyak yang mengintai. Banyak yang ingin menjadikannya bunga. Saya lebih ingin perempuan tinggal di rumah saja. Dengan tanda petik perempuan yang saya maksud adalah perempuan yang kurang bisa menjaga kesuciannya. Saya sadar tidak semua perempuan itu berhati kelam, pun saya pun tidak menyangkal tidak semua perempuan berhati bening. Bukan saya tidak percaya pada perempuan yang berjalan di malam hari. Tapi lantaran cinta saya pada perempuan, yang membuat saya memberanikan diri menulis puisi ini. Lantaran saya ingin, perempuan tidak selamanya bersahabat dengan dunia malam dalam catatan dunia malam yang menawarkan hati kelam. Bukan Malam yang selalu menawarkan ketakjuban, akan anugrah Tuhan. Malam yang selalu memberikan ketenangan dan kedamaian dalam dalam hati perempuan yang berhati bening.
Kini marilah kita merenung sejenak sembari membaca puisi karya Aziz Zabidi di bawah ini sehingga ulasan puisi sederhana ini, akan bisa kita saksikan warna dan rasanya. Bagaimana dua anak bangsa berbicara perempuan malam lewat puisi.

Perempuan Malam, bacalah aku seperti kau baca percik peluh di tubuhku
Oleh aziz zabidi

Kerana aku selalu lelah, dan kau sering melihatku dalam bingkai yang pecah, maka masuklah. Perempuan malam. Masuklah ke tubuhku, ke jantung ke dalam darah. Masuklah seperti kau masuki negeri mimpi. Tak perlu salam mesra tak perlu canda ria. Masuklah dengan pisau atau tali, dengan sutera atau kaca. Tak kupeduli. Masuklah.


Apakah yang kau lihat dalam tubuhku, perempuan malam? Dengkur pada hati atau rindu negeri abadi? ataukah kau lihat juga kapal-kapal yang tak kenal laut. atau ribut atau pasir atau cuma angin dan debu.


Benar, tubuhku selalu lelah. Seperti orang tua dalam sejarah, atau seperti negeriku yang bangka sebelum masa. Tapi apa lagi yang kau lihat?
Kesunyian musim semi atau bingit musim pesta? Ataukah kau ketemu juga sang kuda tanpa pelana atau gagak-gagak mematuk arca.


Sempatkah kau menjejakku. ataukah tak kau ketemu pintu?


Sebelum malam usai dan kita kembali sombong. Dengan jemarimu.
Perempuan malam.
masuklah, masuklah ke jantungku dan bacalah aku seperti engkau membaca
percik peluh ditubuhku.


Disember 09'

Pada bait pertama Aziz Zabidi, lebih menekankan agar perempuan memasuki dunia penyair. Membaca segala rasa yang ada di dalamnya, tanpa harus memperdulikan asal-usul. Tanpa harus memperdulikan tata cara memasuki dunia sang penyair. Bagi penyair, perempuan memasuki dunianya dengan cara yang santun, atau dengan cara yang amoral sama saja.
Pada bait ketiga, secara tegas penyair mempertanyakan tentang segala hal, yang disaksikan perempuan dalam diri penyair. Tentang segala, rindu, riuh, terang dan kelam kehidupan baik yang dialami penyair maupun yang dialami negrinya.
Pada bait ketiga penyair mengakui segala kejenuhan yang dialami. Segala peristiwa yang tidak ingin dialami namun terjadi. Sungguh lukisan hidup yang sangat memilukan.
Pada bait keempat, secara tegas penyair menanyakan perihal keanehan yang dialami perempuan setelah memasuki dunia yang dengan sengaja dibuat oleh penyair. Tentu dunia buatan manusia dengan dunia buatan Tuhan sangatlah berbeda.
Pada bait kelima, penyair menyatakan sikapnya, agar penyair dan perempuan tidak terjebak dalamke sombongan, penyair pun menawarkan pada perempuan agar sama-sama membaca membaca percik peluh. Betapa hidup senang itu akan mudah didapat dengan perjuangan.

Demikianlah ulasan ini saya buat. Semoga ulasan sederhana yang ditulis oleh anak madura yang baru belajar mengeja kata ini bermanfaat untuk khazanah sastra pada umumnya dan bermanfaat bagi diri saya pada khususnya.

Al-Amien, 20 Maret 2010
Biodata Penulis
Moh. Ghufron Cholid, Pembina Sanggar Sastra Al-Amien

DARI REDAKSI

Assamu'alaikum sahabat annadwah, kali ini kami membuka rubrik mengulas puisi atau rubrik esai untuk memperkaya khazanah sastra, sobat annadwah boleh ikut berpartisipasi di dalamnya dengan menyumbangkan karya-karya tulis sobat. Sekian dari kami semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal yang selalu menawan. Amien ya Rabbal 'alamien.
Akhirnya kepada pembaca, kami ucapkan selamat membaca, menikmati dan mengomentari.

Al-Amien, 08 April 2010