Asmaul Husna

Photobucket

Senin, 22 Februari 2010

PUISI ; Detak Bahasa di antara Pencipta Puisi dan Apresiator Puisi

Oleh Imron Tohari

Definisi Puisi

Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi seni, baik secara langsung maupun tidak langsung,begitu sangat dinamis.Dengan “bahasa” kita bisa mencari kedekatan secara emosional kepribadian masing-masing individu, yang dapat dikatakan mempunyai karakteristik dalam berbahasa yang cukup beragam.Dengan bahasa, setiap individu bisa saling berinteraksi dalam menangkap debar-debar emosi/rasa yang tak berujud yang ingin disampaikan padanya oleh individu lainnya. Dengan bahasa dan atau symbol-symbol bahasa, kita bisa menyampaikan pemikiran/opini dengan harapan tercipta imaji-imaji baru yang bisa mempengaruhi pola piker penerima pesan bahasa tersebut.

Untuk itu, bila kita berbicara puisi, maka tidak bisa terlepas dengan yang kita sebut bahasa, dan atau instrument bahasa (symbol tanda baca dan hal yang terkait dengan fungsi bahasa). Yakni bahasa sebagai sarana menangkap wujud puisi.

Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poesis, yang berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan.

Berkenaan tentang beragamnya pendapat mengenai apa definisi dari puisi, Shahnon Ahmad (Shanon bin Ahmad, Haji, Datuk) sastrawan Negara serumpun yang LAHIR : 13 Januari 1933 di Banggul Derdap, Sik, Kedah Darul Aman, mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris berikut (dikutip dari buku Pengkajian Puisi oleh DR. Rahmat Djoko Pradopo) sebagai:

- Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.

- Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

- Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

- Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).

- Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.

Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

"Puisi seolah bayang diri: ada tapi sukar dan bahkan tak terpegang maknanya. tiada tapi ada. ada tapi tiada. puncak puisi, maka, adalah tuhan itu sendiri. turunannya adalah roh kita. turunannya dikit lagi adalah bahasa, pada ketinggiannya: pengasingan benda benda, seolah roh yang tak ingin terlihat, walau dalam tubuh." Tulis Hudan Hidayat, salah satu dari sekian sastrawan terkemuka tanah air yang begitu itens membimbing talent-talent berbakat yang banyak bertebaran di dunia sastra maya dewasa ini.

Terlepas dari pendapat para pakar tersebut, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi ( baca: perenungan! ).

Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?

Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara ( berdasarkan kamus bahasa Indonesia ),samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.

Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta ( pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Pada akhirnya puisi tetap merupakan suatu misteri yang menyelingkupi suatu bahasa rasa yang ingin diletupkan sang penyairnya dengan mengunakan simbol-simbol agar makna tidak secara langsung keluar dari tubuh bahasa puisi itu sendiri, puisi yang menjelmakan dirinya pada bahasa yang sunyi, puisi yang mensamsarakan dirinya pada kesakitan-kesakitan bahasa dalam rangka menemukan pemaknaannya sendiri.


”dari roh masa lampau
kutetak waktuwaktu
kudapati
; kematian serupa awal kehidupan”

Biodata Penulis Imron Tohari _ lifespirit seorang penikmat sastra

Sabtu, 20 Februari 2010

UTUH

(cerpen)Susy Ayu

Aku bertemu lagi dengannya sekarang maka bersegeralah aroma kematangan singgah seperti waktu waktu yang berlalu. Ia masih saja ramping, dengan blus putih berkerah rendah dan jeans biru membalut kakinya yang jenjang. Begitu banyak kutemui gadis-gadis namun mereka belum lagi menjadi mawar, hanya duri. Tetapi tidak perempuan ini. Kupikir hanya aku yang mencium hatinya yang wangi, sementara orang orang hanya menggunakan hidungnya untuk bernafas, membaui semerbak parfum yang hanya bertahan hitungan jam tergoda beberapa saat kemudian bersusah payah mencari wangi itu ke dalam jiwa gadisnya. Itu juga kedunguanku di masa lalu dan berubah jadi perangkap hingga kini.

Aku menemukannya pertama kali duduk tepat di depan sebuah panggung pentas sastra, senyumnya mengembang seirama dengan tepukan tangan mengakhiri satu pertunjukan. Awalnya aku merasa terjebak di tempat ini, seorang sahabat berhasil menggiringku ke sini karena hanya ini kesempatan untuk berjumpa setelah bertahun tahun berada di kota yang berbeda.

Ah, dia mengeluarkan rokok putih , dengan luwesnya batang itu terselip di antara belahan bibirnya. Aku sangat membenci wanita perokok, tapi tidak padanya. Dia selalu bisa membuatku begitu bodoh dgn karakter yang tidak pernah kusangka mampu kumiliki. Asap mulai beterbangan, bercampur dengan suaranya yang mengambang. Apalah artinya asap, seberapa lamapun itu melayang di udara dan bercampur zat yang lain nya, ia tetap bernama asap. Aku tidak peduli berapa banyak racun yang mesti kuhirup, bahkan jika langsung dari dalam mulutnya.

“Aku cinta kamu,” demikian pernah kuberbisik menghindari ketololanku terdengar di seluruh ruang sebuah cafĂ©. Keberanian yang muncul dengan sedikit kurang ajar pada dua pertemuan selanjutnya. Belahan bibirnya bergetar, ia mematikan rokoknya sambil tersenyum, seakan bersiap dengan dialog dan adegan panjang berikutnya.

“Love takes time.” Jawabannya pelan, lebih samar dari suaraku namun cukup untuk mengguncang dan membangkitkan gairah yang matang sekaligus illegal.

Melihatnya, aku seperti disodorkan kartu pos dari sebuah negri yang tidak pernah ada di peta manapun, bergambar telaga biru dengan seekor angsa putih cantik berenang sendirian. Di atasnya langit biru dan gumpalan kapas yang tersepuh dengan lembut. Sementara di tepinya bertebaran bunga-bunga kecil berwarna merah dengan daun hijau keemasan oleh sinar matahari. Pemandangan sederhana namun meneduhkan.

Perempuan itu menciptakan karakter baru untukku, ah tidak, tepatnya dia membangkitkan sisi terdalam dari jiwaku yang belum pernah kutemukan . akhirnya kutemukan diriku , laki –laki usia kepala empat ternyata setengah gila mencintainya. Hanya dia perempuan yang mampu membuatku betah berjam-jam dalam percakapan di rentang jarak ratusan kilometer darinya. Saat itu ia menjelma seorang sutradara handal yang lihai menuntunku meninggalkan meja kerja, berbaring di sofa, tersipu, bergetar bahkan menangis. Padahal…heii….waktu adalah uang untuk orang yang sangat rasional macam aku. Dan itu kulakukan lebih dari tiga kali dalam sehari. Betul-betul gila!

Seperti halnya sebuah ciuman di dalam kamar hotel, setelah aku berhasil membujuknya dengan kelembutan yang susah payah kusembunyikan gairah di dalamnya. Kusebut ini sebuah rasa cinta yang tidak penyok atau cuil, namun sebagai laki-laki aku seperti membawa sekeranjang trik pada sebuah pesta.

Tidak. Aku tidak ingin melepaskan ciuman itu. Seberapa banyakpun jam harus berdentang dari satu angka ke angka berikutnya. Belahan bibirnya menyimpan rasa basah yang teramat manis, membuatku melupakan beban mengerikan dari rengekan istri atas segala yang diinginkan, juga sarapan pagi yang cuma menjadi kisah absurd di kepala sebab istri yang selalu bangun kesiangan. Perempuan ini memberiku segalanya, terutama penghargaan sebagai laki-laki dengan hati yang berkabut, bukan sebagai mesin pencetak uang bagi keluarganya.

Kupikir siapapun takkan sanggup melewati kebersamaan begitu panjang tanpa keinginan menyentuhnya. Kecupan itu berubah menjadi sebuah damba yang meledak akibat dipendam terlalu lama. Aku melayang seperti tak ada gravitasi yang melewati tubuhku. Mungkin aku yang memulai atau dia yang mempersilakan, namun mengalirlah segala rasa dan bertukar muara. Lekuk tubuhnya ibarat wikipedia tentang hasrat sekaligus berisi kata-kata saru yang terhardik keluar dari mulut.

Dia terseret seret mengikuti arusku, sebagian berusaha membendung selebihnya makin menderaskanku. Kalimat penolakan halus hingga tubuhnya yang memberontak tidak berhasil melepaskan dekapanku. Aku dan dia berjatuhan di lantai, tidak juga menghentikan mataku yang gelap . Selembar lagi tubuhnya akan polos dan kegilaan yang entah datang dari mana terus saja mencambuk.

Dia menyerah, tetapi tidak sinar matanya. Tubuhnya terbuka tanpa perlawanan , kelopaknya tersibak , setengah megap-megap dia menyusun kata-kata.
“Silakan kalau kau mau. Setelah ini jangan pernah berharap untuk ketemu aku lagi. Aku akan berdoa, kamulah laki-laki terakhir yang paling kubenci.”

Ini tamparan. Mungkin aku adalah laki-laki terkutuk yang pernah Tuhan ciptakan, tetapi tidak untuk perempuan ini. Kusambar tubuhnya dan kuletakkan di atas panguanku. Kali ini kuyakin bahwa dadanya yang indah diciptakan untuk tempatku menangis. Dia menerima air mataku, mengusap dengan lehernya.

“Tidak dengan cara ini, karena aku mulai mencintaimu.” suaranya parau, kurasa matanya basah. Lalu setitik air menyelinap di sela rambutku.

Aku percaya keinginannya meletakkanku di tempat yang lebih baik dalam hatinya. Kisah yang tak berhasil dengan bahagia membuatku seperti anak kecil yang memegang kuat kuat ujung baju ibunya di tengah keramaian. Aku tidak ingin dia pergi dan kisahku akan gagal sebelum dimulai.

Tubuh yang kelelahan itu kubaringkan di atas ranjang. Dia tertidur dengan menyimpan kelopak mata yang basah. Aku duduk sambil menatapnya dengan hasrat yang sekarat, bahkan pangeran manapun takkan sanggup memberi sebuah ciuman jika membuat putri salju yang letih ini terbangun.

Dia mengajariku banyak hal, melebihi dari yang selama ini kupahami tentang kisah cinta yang selalu berujung percumbuan. Aku merasa lebih memanusia dan makin dalam melihat disekitar cinta itu sendiri. Maka kutunggui dia, hingga beratus ratus hari kusanggup menunggu untuk menemuinya lagi. Seperti saat ini.

Dia terlihat dari tempat yang tidak terlalu jauh. Sebuah pertemuan tak terduga masih menyediakan pintu untuk berpaling. Namun tidak baginya. Senyum mengembang dari seberang meja, bagiku adalah isyarat untuk bersedia didekati. Demi Tuhan, aku ingin memberondongnya dengan rentetan pertanyaan yang selama ini tak pernah terjawab. Kulihat wajahnya sumringah oleh kejutan yang seharusnya membuatnya merasa tidak nyaman, bukankah selama ini dia yang mengakhiri semuanya? Melenggang begitu saja seakan tidak pernah terjadi apa apa sementara gempa telah meruntuhkan satu demi satu dinding di dalam sini. Kutekan dadaku yang sakit dengan satu gerakan yang tak kentara.

“ Aku hanya ingin mendengarkan alasanmu,” aku memulai kata-kata yang porak poranda. Bukan ini rencanaku membuka percakapan.

“ Aku tahu sungguh tidak layak membicarakan hal itu di sini” kusambung lagi, setidaknya untuk menenangkan diriku sendiri. Rasanya begitu konyol, toh segala kesempatan tak pernah cukup layak untuk membuatnya memberi penjelasan?

“ Bagaimana kabar keluargamu? “ Dia menjawabku dengan pertanyaan. Sungguh sebuah pertanyaan yang selalu kupinta dalam doa agar tidak terucap dari bibir yang sempat kumiliki berjam-jam itu. Dimana aku hanya ingin ada aku dan dia . Tambahan satu orang lagi hanya bikin sesak , apalagi ikut serta pula orang-orang yang dengan alasan merasa mendapat anugerah untuk bertahan di dekatku , lalu menggerogoti semua syarafku dan mengikatnya dengan kekejian yang dilegalkan oleh status mertua, ipar dan menantu.

Aku memilih tak menjawab, seratus makna melengos kutegaskan padanya. Dia cuma tersenyum, oh betapa pintar putri kecilku menikam ulu hati. Pelajaran apa lagi kali ini yang akan kau beri?

“Tolong beri satu penjelasan saja, kurasa aku sudah cukup pintar untuk membacanya.” Kuringankan lagi seandainya apa yang kuinginkan telah menjadi beban.

“Karena aku mencintaimu. Tidak ada yang terbagi, utuh. ” Senyumnya pudar, tapi tidak cukup kuat untuk memberiku pengertian.

“Tidak. Kau cuma membuat lubang besar di sini,” kuraih tangannya menyentuh dadaku. Terasakah sekarang bagaimana bekas yang kau tinggalkan?

“Buatku, cinta hanya ada dua, memiliki dan melepaskan. Karena cinta aku bisa mencurimu dari keluargamu, dari istrimu, dan menciptkan dilema untuk kedua anakmu. Maka aku memilih yang terakhir.” Suaranya mengambang.

“Tapi...…” Tapi apa? Aku sendiri kehilangan kata-kata. Dia masih menungguku melanjutkan ucapan yang terputus secara memalukan ini.

“Aku utuh, tak ada yang kubagi. Andai bisa separuh saja kuberikan hatiku, kita akan tetap bersama menjalani tanpa mengubah apapun. “ Dia meneruskan usahanya membuatku mengerti lalu berharap akan baik-baik saja. Maka selanjutnya dalam hati kuberharap dia terus mendoakanku untuk itu. Betapa tragis sebuah kehangatan yang terpisah oleh niat baik. Seberapa baik? Aku tidak akan pernah baik-baik saja.

Aku pernah menemukan kesedihan, berjuang melewatinya, baik baik saja, kemudian sekarang kembali untuk menempuhnya lagi. Seperti sebuah jam pasir, membolak balik dan aku di dalamnya sebagai debu.

“Giliranku membacakan puisi sekarang, puisi ini untukmu, ada atau tidak ada engkau..selalu untukmu.”

Dia bangkit, kulihat tubuhnya terguncang dengan kuat menaiki panggung. Tulangku remuk, seperti remahan biskuit jatuh di bawah meja dan anak-anak kecil yang kelaparan berebut memungutnya. Remahan hatiku ternyata juga terbawa. Perempuanku benar-benar telah pergi dengan barisan kata-kata yang tidak berhasil kupahami.

15 Februari 2010

Biodata Penulis
Ia adalah seorang ibu dari dua orang anak yaitu Adinda Rana Fauziah, 10 tahunMoh. Rifaditya Fadilla, 9 di samping mengerjakan tugas rumah tangga, ia juga meluangkan waktunya untuk menulis puisi dan cerpen.

Senin, 01 Februari 2010

CATATAN PERJALANAN DI AKHIR JANUARI

kepada : E.D


menaruh rasa demi rasa
dalam kata

mencicil ingatan demi ingatan
dalam tubuh puisi

jadilah kamu dalam rumah puisiku

Biodata Penulis
Senja Aditya Fajar, kelahiran tanjung priouk Jakarta utara, 9 Maret, kini tinggal di Jatijajar, Cimanggis Depok. Saat ini, aktif di RTJ (Rumah Tanpa Jendela) serta di KOPS (Komunitas Planet Senen) dan Forum Ungu Yogyakarta.
Pembimbing dan Sutradara Teater dan Sastra serta musik kreatif di Lapas anak pria Tanggerang dan bersama teman-teman TERANPAS (Teater anak lapas Tanggerang) beberapa kali mengadakan pertunjukkan teater dan puisi serta musik kreatif baik di luar dan di dalam lapas sendiri.

PURNAMA DI LANGIT CERAH

Cerpen by : Ade Anita

Bulan berwajah bundar lagi malam ini. Langit cerah tanpa bintang, sehingga kehadiran singgasana bulan di angkasa tampak bersinar tanpa ada saingan. Siapapun bisa menatap wajah purnama sang bulan, persis seperti yang dilakukan oleh seorang gadis dari dalam jendela kamarnya yang berada di lantai atas rumahnya. Arini namanya.

Arini menatap sang bulan sambil duduk di atas bingkai jendela kamarnya. Bulan purnama datang lagi. Itu artinya tiga bulan lagi menjelang pernikahannya. Ada sebuah perasaan yang sulit dilukiskan di hatinya menjelang saat itu tiba. Perasaan yang mengganggu pikirannya hari-hari belakangan ini, bahkan membuatnya kehilangan konsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Hmm…, rasa takut itu kembali muncul. Akankah dia bahagia kelak dengan kehidupannya yang baru setelah menikah kelak ? Akankah sang Arjuna akan tetap menyayangi dia meski perubahan waktu akan membawa hal-hal yang tidak terduga kelak ? Bagaimana jika dia ternyata tidak bisa memberikan keturunan ? Bagaimana jika dia tidak cocok dengan keluarga suaminya ? Bagaimana jika sebaliknya yang terjadi ? Bagaimana jika suaminya mengharuskan dia untuk berhenti dari pekerjaan mapannya kini untuk berdiam di rumah ? Bagaimana jika orang tuanya yang telah menyekolahkannya merasa sayang melihat pendidikan yang telah dienyamnya bertahun-tahun menjadi sia-sia tak terpakai ? Bagaimana jika dia bosan dan jenuh dengan pekerjaan rutin rumah tangga ? Bagaimana jika datang gadis yang lebih menarik dalam perkawinannya dan gadis itu membuat suaminya beralih cinta ? Bagaimana … wah… ternyata ada beribu bagaimana dan pertanyaan lain yang membuat kegalauan di hatinya kian tidak menentu. Arini menundukkan kepalanya dan membuang napasnya agar rasa galau di hatinya ikut lenyap. Seharusnya sebuah pernikahan itu adalah peristiwa membahagiakan, tapi kenapa sekarang yang muncul adalah berjuta keraguan atas perolehan rasa bahagia itu. Ditatapnya kembali wajah rembulan. Rasa galau itu belum hilang, meski dia sangat ingin melenyapkan rasa yang sangat mengganggu itu.

---00000---


Sudah lebih dari satu jam Aditia mengamati pohon rambutan dengan teropong mininya. Arini mendekati adik semata wayangnya itu hati-hati.

“Lihat apa sih dik, dari tadi kok asyik banget.“ Perlahan dirangkulnya pundak Aditia dari belakang. Aditia menurunkan teropongnya dan menoleh menatap kakaknya.

“Lihat lebah mbak. Tuh…, lihat deh mbak. Mereka lagi boyongan mau pindah sarang.” Teropong itu kini disodorkan padanya. Arini meletakkan teropong itu di depan matanya.

“Yang mana dik ?” Aditia cepat memindahkan teropong itu kembali ke matanya sendiri, setelah mematok tempat, Aditia memberi isyarat pada Arini untuk mendekat. Di kedua lingkaran jendela teropong itu kini tampak sebuah barisan lebah-lebah yang terbang beriringan mondar-mandir keluar masuk sarang segi enam mereka yang masih tampak kokoh. Makhluk kecil itu tampak terbang mengepakkan sayapnya sementara tubuh bagian ekornya tampak condong ke bawah. Tentu lebah itu membawa serta madu yang dihasilkan tubuhnya sehingga terlihat keberatan begitu. Kepakan sayapnya tampak bergerak sangat cepat sehingga menimbulkan suara berdengung yang ramai. Asyik juga mengamati kesibukan para lebah ini. Pantas Aditia dari tadi begitu asyik di depan jendela diam tak bergeming mengamati. Arini meletakkan siku kedua tangannya di bingkai jendela agar posisi mengintipnya nyaman.

“Hei… nggak Dik. Mereka nggak semuanya pindah. Ada juga yang tinggal.” “Masa sih mbak ? Darimana mbak tahu ?” Aditia memberondong Arini dengan pertanyaan sambil menarik ujung kemeja Arini.

“Itu.. lihat deh. “ Arini memberikan teropongnya pada Aditia sehingga kini kegiatan mengintip lewat teropong itu sudah berpindah tangan.

“Ada lebah yang keluar saja, dan tidak masuk lagi, mereka terus masuk dalam kelompok lebah yang terbang menjauhi sarang menuju pohon lain, tapi ada juga lebah yang keluar dari sarang, terbang berputar memutari pohon untuk kemudian masuk lagi. Itu artinya mereka tidak ikut pindah, tapi mereka sedang bertugas untuk menjaga sarang dan mengawasi agar lebah yang pindah tidak merusak sarang yang mereka tinggalkan. Prajurit lebah namanya.” Aditia menjauhkan teropong dari depan matanya mendengar keterangan Arini dan menatap Arini dengan wajah keheranan.

“Prajurit lebah? Itu cerita khayalan mbak Arin atau kenyataan nih? Memangnya kerajaan apa, ada prajuritnya segala?” Arini bengong sejenak, tapi langsung nyengir kuda setelah melihat alis mata Aditia yang bertaut kebingungan. Diacaknya rambut Aditia dengan sebelah tangannya.

“Yeeee…, beneran dong. Masa khayalan. Hehehe….”

“Nih…, gini Dik. Dalam kehidupan lebah, hanya ada satu komando, yaitu sang ratu lebah. Ratu lebah itulah yang bertelur. Lebah lain yang ada di masyarakatnya, ada yang bertugas untuk mencari madu,. Ada yang bertugas untuk menjaga sarang dari ancaman musuh, ada juga yang bertugas untuk menjaga telur-telur dan menyimpan madu yang dikumpulkan oleh lebah pekerja. Kerja sama dalam pembagian tugas ini yang membuat para lebah masing-masing bisa konsentrasi menghasilkan yang terbaik bagi masyarakatnya. Tapi, suatu saat, akan muncul lebah betina muda yang kualitasnya sama bagusnya dengan Ratu lebah. Karena tidak boleh ada dua Ratu, maka sang Ratu baru ini akan pindah mencari sarang baru, dan dia bisa membawa serta lebah-lebah pengikutnya untuk membuat koloni baru tersebut.” Aditia mendengarkan keterangan Arini tanpa berkedip. Bahkan tidak ada reaksi yang terjadi ketika teropong di tangannya diambil oleh Arini.

“Tuh…. Mereka menuju pohon nangka di rumah pak Haji Soleh di depan sana. Itu artinya sarang baru mereka di sana insya Allah.” Tidak ada reaksi apa-apa atau komentar sedikitpun dari Aditia selain,

“Mbak… kenapa mereka nggak berbagi tempat saja yah ? Membangun dari awal kan sulit, banyak resikonya. Padahal mereka di tempat yang lama sudah kenal dengan segala macam situasi, namanya juga lahir dan besar di sana. Kalau di tempat baru kan, masih asing. Belum bikin sarangnya yang buang waktu, belum nyari tempat buat nyari makanan, belum harus merhatiin takut kalau-kalau di tempat baru ternnyata nggak cocok dan nggak senyaman di tempat lama.” Aditia bertanya setengah bergumam.

Arini tidak langsung memberikan jawaban. Ditatapnya adik semata wayangnya itu dengan rasa sayang. Perbedaan usia di antara mereka cukup jauh. Arini masih duduk di SMP dan sudah merasa bahwa dia akan menjadi anak tunggal selamanya ketika ibu tirinya datang memberi tahu bahwa beberapa bulan lagi dia akan mendapatkan adik baru. Ibu kandung Arini memang sudah meninggal sejak Arini berusia sembilan tahun dan ayahnya menikah lagi empat tahun kemudian. Ibu barunya itulah yang memberinya adik baru bernama Aditia. Kebahagiaan mendapatkan adik baru itu, meski dari ibu yang lain, telah terwujud dalam perasaan sayang yang terasa tidak pernah mengering dari hari ke hari. Mungkin karena perbedaan usia yang jauh sehingga Arini sudah cukup mengerti bagaimana caranya menerima kehadiran adik baru.

“Mbak… ! Kok bengong sih ditanyain ?” Aditia mengguncang lengan Arini.

“Hmm, segala sesuatu itu sudah ditentukan jalannya oleh Allah dik.“

“Maksudnya mbak ?”

“Begini…,” Arini meneguk air liurnya sejenak, sekedar untuk membasahi tenggorokkannya yang terasa kering.

“Segala sesuatu di muka bumi ini dalam penciptaannya sudah diperhitungkan oleh Allah dalam sebuah ketetapan. Misalnya, tikus yang suka makan padi di sawah, ditetapkan akan mati dimakan oleh ular sawah. Karenanya, tikus yang bisa berkembang biak dengan sangat cepat itu tidak meraja lela di sawah pak tani. Nanti ular yang memakan tikus itu, akan dimakan oleh burung elang, burung elang akan dimakan oleh ular yang lebih besar dan lebih berbisa lagi, ular itu akan dimakan oleh harimau…begitu seterusnya.”

“Seperti siklus daur makanan di pelajaran biologi yah ?” Aditia bertanya sambil mengulum senyum dan duduk di sisi Arini.

“Betul. Kamu sudah sampai situ yah pelajaran biologinya ?” Arini mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut kepala adiknya itu.

“Iyah. Ekosistem namanya.” Aditia memberi keterangan dengan mimik wajah serius.

“Iyah, betul ekosistem namanya. Yah…, begitu deh dik. Al Quran sebenarnya sudah memberi pengajaran tentang pelajaran ekosistem itu terlebih dahulu jauh sebelum para ilmuwan biologi mengemukakan teori ekosistemnya. Semuanya disebut sebagai ketetapan dari Allah bagi manusia dan bumi tempat tinggalnya. Allah itu sudah memperhitungkan atas segala sesuatu yagn diciptakanNya, dan perhitungan Allah itu sudah meliputi mulai hal yang rumit sampai hal paling sepele. Tidak ada yang sia-sia dalam ciptaanNya. Kita meyakininya sebagai takdir yang sudah ditetapkan atas segala sesuatunya. Jadi tiap-tiap makhluk itu sudah ditentukan bahwa dia akan berjalan menggunakan kakinya misalnya, atau si A terlahir sebagai wanita sedangkan B sebagai pria, atau gajah akan mengibaskan telinga lebarnya agar tubuh besarnya tetap dalam keadaan seimbang dan kulit tebalnya tidak menimbulkan rasa penat kepanasan. Lembu yang sulit mengusir kutu-kutu di tubuhnya akan dibantu oleh burung yang akan memakan kutu-kutu itu. Itulah takdir, ketetapan Allah atas segala sesuatunya. Setiap kelemahan yang ada pada setiap makhluk ciptaan Allah selalu diiringi dengan kelebihan tersendiri dan itulah yang menjadi perlindungan bagi makhluk itu.”

Arini berhenti bicara dan mendapati Aditia sedang menatapnya tanpa berkedip dengan mulut menganga. Adiknya itu tampak mempertautkan kedua alisnya dan keningnya pun tampak berkerut-kerut. Wah, pasti tadi Arini sudah terlalu bersemangat bercerita panjang lebar mengalahkan semua singa podium. Arini tersenyum sumringah, malu sendiri.

“Bingung yah Dik ?” Arini menjentikkan dagu Aditia yang turun ke bawah hingga mulut Aditia yang terbuka karena bengong tertutup. Tapi Aditia mengangguk cepat sebagai reaksi akhirnya.

“Iyah.. ribet banget sih mbak neranginnya. Puanjanggggggg kayak kereta api. ” Arini tersenyum dan mengacak-acak rambut Aditia.

“Hmm, kalau gitu…, kamu ambil Al Quran dan ensiklopedia tentang lingkungan hidup gih, mbak terangin satu-satu.”

“Hah ?” Aditia menatap Arini masih dalam sisa bengongnya.

“Ngaji ? Ihhhh…, malas ah ! Nanti juga Adit ngaji di TPA.” Aditia spontan bangkit berdiri dan berjalan mundur menjauhi Arini.

“Yee…, bukan lagi. Kita belajar eh bukan… kita buat penelitian tentang lingkungan sekitar, hmm, soal lebah juga boleh dibahas nanti, tapi dihubungkan dengan Al Quran, asyik loh… tadabur alam namanya. “ Aditia masih menatap Arini ragu-ragu. Arini hanya tersenyum dan memasang wajah serius buru-buru.

“Pokoknya beda deh ama ngaji kayak di pengajian itu, ini lebih asyik.” Tidak ada reaksi dari Aditia, yang ada adalah rasa kurang percaya yagn terlukis di wajahnya.

“Coba dulu, kamu belum tahu kan, jadi jangan curiga dulu bahwa hal ini akan membosankan.” Glek ! Arini jadi teringat sesuatu. Astaghfirullah, itulah yang terjadi pada dirinya sendiri beberapa hari belakangan ini. Rasa curiga, prasangka buruk akan ketetapan hari esok yang akan dia jalani.

Ya Allah, terima kasih Engkau telah mengingatkan hamba hari ini.

Kehidupan setiap makhluk itu sudah diperhitungkan oleh Allah, dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pengasih. Dia tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hambaNya. Jadi apapun yang terjadi di hari esok tentunya sudah ada dalam perhitunganNya. Kenapa harus ragu dan bingung ? Wahh.. kenapa bisa lupa yah ? Arini semakin mantap kini dan itu mempengaruhi semangatnya untuk menerangkan banyak hal pada adik semata wayangnya itu. Semua pertanyaan dia coba jawab dengan kalimat sederhana dan santai dan dicoba untuk dikaitkan dengan Al Quran, agar adiknya tidak lagi mempunyai prasangka bahwa mengkaji Al Quran itu adalah sesuatu yang membosankan. Untuk jatuh cinta pada Al Quran itu harus dimulai dengan mengenalnya terlebih dahulu.

“Mbak…, memangnya ada yah binatang menyusui yang bertelur ?” Aditia tidak henti-hentinya bertanya, hingga matahari condong ke arah barat, dan azan ashar terdengar di kejauhan.

Nanti malam, bulan purnama muncul lagi, dan insya Allah itu adalah bulan purnama terakhir yang bisa Arini nikmati dari bingkai jendela kamarnya sebagai seorang gadis, karena minggu depan dia akan menikah. Arini tersenyum dalam hati, keyakinannya akan perlindungan Allah kian menancap erat di dalam hati. Terserah bagaimana warna hari esok, karena yang utama itu adalah apa yang kita usahakan hari ini. Jika kita melakukannya dengan baik insya Allah hasilnya akan baik pula dan akan lebih baik lagi jika diiringi dengan tujuan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah semata. Subhanallah, Maha Suci Allah.

---00000---


“Dia Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya takdir (ketetapan) yang sesempurna-sempurnanya “(QS. 25 :2)

“Dan tidak sesuatu pun kecuali ada di sisi Kami khasanah (sumber)nya dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan kadar (ukuran) tertentu”(QS. 15 :21)

* Biodata Penulis
Ade Anita itulah namanya dilahirkan di Jakarta 26 september 1970 pendidikan terakhirnya S1 FISIP UI, Depok Jururan Ilmu Kesehatan Sosial kini tinggal di Jakarta Selatan. Ibu dari 3 orang anak ini meski disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga dia masih meluangkan waktunya untuk menulis dan mengasuh rubrik uneq2 di www.kafemuslimah.com. Bukunya yang telah terbit 1. CInta Bintang Kejora, Gema Insani Press, thn 2003 dan 2. Selamat TInggal kabutku sayang, GIP, thn 2004. Demianlah biodata singkatnya