Asmaul Husna

Photobucket

Sabtu, 20 Februari 2010

UTUH

(cerpen)Susy Ayu

Aku bertemu lagi dengannya sekarang maka bersegeralah aroma kematangan singgah seperti waktu waktu yang berlalu. Ia masih saja ramping, dengan blus putih berkerah rendah dan jeans biru membalut kakinya yang jenjang. Begitu banyak kutemui gadis-gadis namun mereka belum lagi menjadi mawar, hanya duri. Tetapi tidak perempuan ini. Kupikir hanya aku yang mencium hatinya yang wangi, sementara orang orang hanya menggunakan hidungnya untuk bernafas, membaui semerbak parfum yang hanya bertahan hitungan jam tergoda beberapa saat kemudian bersusah payah mencari wangi itu ke dalam jiwa gadisnya. Itu juga kedunguanku di masa lalu dan berubah jadi perangkap hingga kini.

Aku menemukannya pertama kali duduk tepat di depan sebuah panggung pentas sastra, senyumnya mengembang seirama dengan tepukan tangan mengakhiri satu pertunjukan. Awalnya aku merasa terjebak di tempat ini, seorang sahabat berhasil menggiringku ke sini karena hanya ini kesempatan untuk berjumpa setelah bertahun tahun berada di kota yang berbeda.

Ah, dia mengeluarkan rokok putih , dengan luwesnya batang itu terselip di antara belahan bibirnya. Aku sangat membenci wanita perokok, tapi tidak padanya. Dia selalu bisa membuatku begitu bodoh dgn karakter yang tidak pernah kusangka mampu kumiliki. Asap mulai beterbangan, bercampur dengan suaranya yang mengambang. Apalah artinya asap, seberapa lamapun itu melayang di udara dan bercampur zat yang lain nya, ia tetap bernama asap. Aku tidak peduli berapa banyak racun yang mesti kuhirup, bahkan jika langsung dari dalam mulutnya.

“Aku cinta kamu,” demikian pernah kuberbisik menghindari ketololanku terdengar di seluruh ruang sebuah cafĂ©. Keberanian yang muncul dengan sedikit kurang ajar pada dua pertemuan selanjutnya. Belahan bibirnya bergetar, ia mematikan rokoknya sambil tersenyum, seakan bersiap dengan dialog dan adegan panjang berikutnya.

“Love takes time.” Jawabannya pelan, lebih samar dari suaraku namun cukup untuk mengguncang dan membangkitkan gairah yang matang sekaligus illegal.

Melihatnya, aku seperti disodorkan kartu pos dari sebuah negri yang tidak pernah ada di peta manapun, bergambar telaga biru dengan seekor angsa putih cantik berenang sendirian. Di atasnya langit biru dan gumpalan kapas yang tersepuh dengan lembut. Sementara di tepinya bertebaran bunga-bunga kecil berwarna merah dengan daun hijau keemasan oleh sinar matahari. Pemandangan sederhana namun meneduhkan.

Perempuan itu menciptakan karakter baru untukku, ah tidak, tepatnya dia membangkitkan sisi terdalam dari jiwaku yang belum pernah kutemukan . akhirnya kutemukan diriku , laki –laki usia kepala empat ternyata setengah gila mencintainya. Hanya dia perempuan yang mampu membuatku betah berjam-jam dalam percakapan di rentang jarak ratusan kilometer darinya. Saat itu ia menjelma seorang sutradara handal yang lihai menuntunku meninggalkan meja kerja, berbaring di sofa, tersipu, bergetar bahkan menangis. Padahal…heii….waktu adalah uang untuk orang yang sangat rasional macam aku. Dan itu kulakukan lebih dari tiga kali dalam sehari. Betul-betul gila!

Seperti halnya sebuah ciuman di dalam kamar hotel, setelah aku berhasil membujuknya dengan kelembutan yang susah payah kusembunyikan gairah di dalamnya. Kusebut ini sebuah rasa cinta yang tidak penyok atau cuil, namun sebagai laki-laki aku seperti membawa sekeranjang trik pada sebuah pesta.

Tidak. Aku tidak ingin melepaskan ciuman itu. Seberapa banyakpun jam harus berdentang dari satu angka ke angka berikutnya. Belahan bibirnya menyimpan rasa basah yang teramat manis, membuatku melupakan beban mengerikan dari rengekan istri atas segala yang diinginkan, juga sarapan pagi yang cuma menjadi kisah absurd di kepala sebab istri yang selalu bangun kesiangan. Perempuan ini memberiku segalanya, terutama penghargaan sebagai laki-laki dengan hati yang berkabut, bukan sebagai mesin pencetak uang bagi keluarganya.

Kupikir siapapun takkan sanggup melewati kebersamaan begitu panjang tanpa keinginan menyentuhnya. Kecupan itu berubah menjadi sebuah damba yang meledak akibat dipendam terlalu lama. Aku melayang seperti tak ada gravitasi yang melewati tubuhku. Mungkin aku yang memulai atau dia yang mempersilakan, namun mengalirlah segala rasa dan bertukar muara. Lekuk tubuhnya ibarat wikipedia tentang hasrat sekaligus berisi kata-kata saru yang terhardik keluar dari mulut.

Dia terseret seret mengikuti arusku, sebagian berusaha membendung selebihnya makin menderaskanku. Kalimat penolakan halus hingga tubuhnya yang memberontak tidak berhasil melepaskan dekapanku. Aku dan dia berjatuhan di lantai, tidak juga menghentikan mataku yang gelap . Selembar lagi tubuhnya akan polos dan kegilaan yang entah datang dari mana terus saja mencambuk.

Dia menyerah, tetapi tidak sinar matanya. Tubuhnya terbuka tanpa perlawanan , kelopaknya tersibak , setengah megap-megap dia menyusun kata-kata.
“Silakan kalau kau mau. Setelah ini jangan pernah berharap untuk ketemu aku lagi. Aku akan berdoa, kamulah laki-laki terakhir yang paling kubenci.”

Ini tamparan. Mungkin aku adalah laki-laki terkutuk yang pernah Tuhan ciptakan, tetapi tidak untuk perempuan ini. Kusambar tubuhnya dan kuletakkan di atas panguanku. Kali ini kuyakin bahwa dadanya yang indah diciptakan untuk tempatku menangis. Dia menerima air mataku, mengusap dengan lehernya.

“Tidak dengan cara ini, karena aku mulai mencintaimu.” suaranya parau, kurasa matanya basah. Lalu setitik air menyelinap di sela rambutku.

Aku percaya keinginannya meletakkanku di tempat yang lebih baik dalam hatinya. Kisah yang tak berhasil dengan bahagia membuatku seperti anak kecil yang memegang kuat kuat ujung baju ibunya di tengah keramaian. Aku tidak ingin dia pergi dan kisahku akan gagal sebelum dimulai.

Tubuh yang kelelahan itu kubaringkan di atas ranjang. Dia tertidur dengan menyimpan kelopak mata yang basah. Aku duduk sambil menatapnya dengan hasrat yang sekarat, bahkan pangeran manapun takkan sanggup memberi sebuah ciuman jika membuat putri salju yang letih ini terbangun.

Dia mengajariku banyak hal, melebihi dari yang selama ini kupahami tentang kisah cinta yang selalu berujung percumbuan. Aku merasa lebih memanusia dan makin dalam melihat disekitar cinta itu sendiri. Maka kutunggui dia, hingga beratus ratus hari kusanggup menunggu untuk menemuinya lagi. Seperti saat ini.

Dia terlihat dari tempat yang tidak terlalu jauh. Sebuah pertemuan tak terduga masih menyediakan pintu untuk berpaling. Namun tidak baginya. Senyum mengembang dari seberang meja, bagiku adalah isyarat untuk bersedia didekati. Demi Tuhan, aku ingin memberondongnya dengan rentetan pertanyaan yang selama ini tak pernah terjawab. Kulihat wajahnya sumringah oleh kejutan yang seharusnya membuatnya merasa tidak nyaman, bukankah selama ini dia yang mengakhiri semuanya? Melenggang begitu saja seakan tidak pernah terjadi apa apa sementara gempa telah meruntuhkan satu demi satu dinding di dalam sini. Kutekan dadaku yang sakit dengan satu gerakan yang tak kentara.

“ Aku hanya ingin mendengarkan alasanmu,” aku memulai kata-kata yang porak poranda. Bukan ini rencanaku membuka percakapan.

“ Aku tahu sungguh tidak layak membicarakan hal itu di sini” kusambung lagi, setidaknya untuk menenangkan diriku sendiri. Rasanya begitu konyol, toh segala kesempatan tak pernah cukup layak untuk membuatnya memberi penjelasan?

“ Bagaimana kabar keluargamu? “ Dia menjawabku dengan pertanyaan. Sungguh sebuah pertanyaan yang selalu kupinta dalam doa agar tidak terucap dari bibir yang sempat kumiliki berjam-jam itu. Dimana aku hanya ingin ada aku dan dia . Tambahan satu orang lagi hanya bikin sesak , apalagi ikut serta pula orang-orang yang dengan alasan merasa mendapat anugerah untuk bertahan di dekatku , lalu menggerogoti semua syarafku dan mengikatnya dengan kekejian yang dilegalkan oleh status mertua, ipar dan menantu.

Aku memilih tak menjawab, seratus makna melengos kutegaskan padanya. Dia cuma tersenyum, oh betapa pintar putri kecilku menikam ulu hati. Pelajaran apa lagi kali ini yang akan kau beri?

“Tolong beri satu penjelasan saja, kurasa aku sudah cukup pintar untuk membacanya.” Kuringankan lagi seandainya apa yang kuinginkan telah menjadi beban.

“Karena aku mencintaimu. Tidak ada yang terbagi, utuh. ” Senyumnya pudar, tapi tidak cukup kuat untuk memberiku pengertian.

“Tidak. Kau cuma membuat lubang besar di sini,” kuraih tangannya menyentuh dadaku. Terasakah sekarang bagaimana bekas yang kau tinggalkan?

“Buatku, cinta hanya ada dua, memiliki dan melepaskan. Karena cinta aku bisa mencurimu dari keluargamu, dari istrimu, dan menciptkan dilema untuk kedua anakmu. Maka aku memilih yang terakhir.” Suaranya mengambang.

“Tapi...…” Tapi apa? Aku sendiri kehilangan kata-kata. Dia masih menungguku melanjutkan ucapan yang terputus secara memalukan ini.

“Aku utuh, tak ada yang kubagi. Andai bisa separuh saja kuberikan hatiku, kita akan tetap bersama menjalani tanpa mengubah apapun. “ Dia meneruskan usahanya membuatku mengerti lalu berharap akan baik-baik saja. Maka selanjutnya dalam hati kuberharap dia terus mendoakanku untuk itu. Betapa tragis sebuah kehangatan yang terpisah oleh niat baik. Seberapa baik? Aku tidak akan pernah baik-baik saja.

Aku pernah menemukan kesedihan, berjuang melewatinya, baik baik saja, kemudian sekarang kembali untuk menempuhnya lagi. Seperti sebuah jam pasir, membolak balik dan aku di dalamnya sebagai debu.

“Giliranku membacakan puisi sekarang, puisi ini untukmu, ada atau tidak ada engkau..selalu untukmu.”

Dia bangkit, kulihat tubuhnya terguncang dengan kuat menaiki panggung. Tulangku remuk, seperti remahan biskuit jatuh di bawah meja dan anak-anak kecil yang kelaparan berebut memungutnya. Remahan hatiku ternyata juga terbawa. Perempuanku benar-benar telah pergi dengan barisan kata-kata yang tidak berhasil kupahami.

15 Februari 2010

Biodata Penulis
Ia adalah seorang ibu dari dua orang anak yaitu Adinda Rana Fauziah, 10 tahunMoh. Rifaditya Fadilla, 9 di samping mengerjakan tugas rumah tangga, ia juga meluangkan waktunya untuk menulis puisi dan cerpen.

Tidak ada komentar: